Kamis, 29 November 2012

Mahakarya Warisan Budaya Nusantara - GAMELAN

Mahakarya Warisan Budaya
Nusantara - Gamelan
Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak budaya maka keseniannya pun turut berkontak sehingga dapat terjadi satu bangsa akan menyerap atau mengadopsi unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi setempat. 




Oleh karena itu sejak keberadaan gamelan sampai sekarang telah terjadi perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.

Seorang sarjana berkebangsaan Belanda bernama Dr. J.L.A. Brandes secara teoritis mengatakan bahwa jauh sebelum datangnya pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah memiliki ketrampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889):
(1)   Wayang,
(2)   Gamelan,
(3)   Ilmu irama sanjak,
(4)   Batik,
(5)   Pengerjaan logam,
(6)   Sistem mata uang sendiri,
(7)   Ilmu teknologi pelayaran,
(8)   Astronomi,
(9)   Pertanian sawah,
(10) Birokrasi pemerintahan yang teratur.
Sepuluh butir ketrampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa Hindu dari India. Kalau teori itu benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah. Namun tahun yang tepat sulit diketahui karena pada masa prasejarah masyarakat belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti-bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak dan merunut gamelan pada masa prasejarah.


Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya /alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa. Gamel yang berarti memukul/menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan Gamelan. Kemunculan Gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili Seni Asli Indonesia.

Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik Gamelan adalah bagaimana cara menyanyikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medang kamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk setgamelan. Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang-Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.

Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, "Degung" (khusus daerah Sunda atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa. Musik Gamelan merupakan gabungan pengaruh seni luar negeri yang beraneka ragam. Kaitan not nada dari Cina, instrumen musik dari Asia Tenggara, drum band dan gerakkan musik dari India, bowed string dari daerah Timur Tengah, bahkan style militer Eropa yang kita dengar pada musik tradisional Jawa dan Bali sekarang ini. Interaksi komponen yang sarat dengan melodi, irama dan warna suara mempertahankan kejayaan musik orkes gamelan Bali. Pilar-pilar musik ini menyatukan berbagai karakter komunitas pedesaan Bali yang menjadi tatanan musik khas yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan nada pentatonis, yang terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong dan Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab, Siter, Suling. Komponen utama alat musik gamelan adalah : bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan.

Walaupun pada perkembangannya ada perbedaan dengan musik India, tetap ada beberapa ciri yang tidak hilang, salah satunya adalah cara “menyanyikan” lagunya. Penyanyi pria biasa disebut sebagai wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana. Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa,dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medang kamulan (sekarang Gunung Lawu). Musik gamelan biasanya dimainkan dalam majelis formal dan tidak formal di istana dan untuk mengiringi joget Pahang. 

Pemusik gamelan terdiri dari lelaki sembilan orang dan penarinya adalah wanita enam orang. Alat musik yang digunakan ialah Gong Agong, Gong Sawokan, Gendang Ibu, Gendang Anak, Saron Pekin, Saron Baron I dan Saron Baron II, Gambang serta Kenong.
Tuning dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat sistem tuning, yaitu sléndro, pélog,"Degung" (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan "madenda" (juga dikenali sebagai diatonis sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa).

Istilah “karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai "karawitan" berangkat dari kata dasar “rawitâ” yang berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di lingkungan kraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian seperti: tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002:5¬6). Dalam pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah, 2002:12) :
(1)  menggunakan alat musik gamelan - sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog - sebagian atau semuanya.
(2) menggunakan laras (tangga nada slendro) dan atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.


Sejarah Singkat Gamelan



Kebudayaan Jawa setelah masa prasejarah memasuki era baru yaitu suatu masa ketika kebudayaan dari luar, dalam hal ini kebudayaan India mulai berpengaruh. Kebudayaan Jawa mulai memasuki jaman sejarah yang ditandai dengan adanya sistem tulisan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif historis selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi kebudayaan Jawa, mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Tampaknya unsur-unsur budaya India juga dapat dilihat pada kesenian seperti gamelan dan seni tari. Transformasi budaya musik ke Jawa melalui jalur agama Hindu-Budha.

Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan di dalam sumber verbal yakni sumber-sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Budha dan sumber piktorial berupa relief yang dipahatkan pada bangunan candi baik pada candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 sampai abad ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai abad ke¬15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai tabeh-tabehan (bahasa Jawa baru 'tabuh-tabuhan' atau 'tetabuhan' yang berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul). Zoetmulder menjelaskan kata “gam”dengan alat musik perkusi yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa ada kata “gèmbèlâ” yang berarti 'alat pemukul'. 

Dalam bahasa Bali ada istilah 'gambèlan' yang kemudian mungkin menjadi istilah 'gamelan'. Istilah 'gamelan' telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Namun dalam masa Kediri (sekitar abad ke¬13 Masehi), seorang ahli musik Judith Becker malahan mengatakan bahwa kata 'gamelan' berasal dari nama seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah 'gamelan' dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan, namun ternyata tidak.

Pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.

Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik : kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur ; dan di pandapa teras relief gambang, reyong, serta simbal. Relief bendhe dan terompet ada pada candi Sukuh (abad ke-15 M).

Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985:42-45). Didalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti kitab Natya Sastra seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara keagamaan (Vatsyayan, 1968). 

Secara keseluruhan kelompok musik di India disebut 'vaditra' yang dikelompokkan menjadi 5 kelas, yakni: tata (instrumen musik gesek), begat (instrumen musik petik), sushira (instrumen musik tiup), dhola (kendang), ghana (instrumen musik pukul). Pengelompokan yang lain adalah:
(1) Avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul.
(2) Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri.
(3) Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup.
(4) Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut "laya" dibakukan dengan menggunakan pola 'tala' yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).

Kelompok membranofon adalah instrumen gamelan, yang sumber bunyi ada pada selaput kulit atau bahan lainnya. Di dalam gamelan Jawa kelompok ini adalah jenis kendang. Dalam beberapa prasasti diperoleh bukti bahwa instrumen kelompok membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama : padahi, pataha (padaha), murawa atau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang.

Istilah 'padahi' tertua dapat dijumpai pada prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Istilah tersebut terus dipergunakan sampai pada jaman Majapahit sebagaimana dapat dibaca pada kitab Nagarakrtagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960). Bukan tidak mungkin bahwa instrumen musik jenis membranofon merupakan jenis instrumen gamelan yang telah ada sebelum adanya kontak budaya dengan India, yang digunakan pada acara-acara ritual. Dalam hal ini dapat dibandingkan dengan alat-alat musik yang dimiliki suku bangsa primitif yang pada umumnya dari kelompok membranofon. Di jaman kebudayaan logam prasejarah di Indonesia (kebudayaan perunggu) telah dikenal adanya jenis moko, nekara. Nekara pada zamannya berfungsi sebagai semacam genderang. Penulis tidak sependapat bahwa nekara dalarn perkembangannya kemudian menjadi gong.

Di India instrumen jenis kendang disebut dengan berbagai nama seperti : dundubhi, pataha, mridangga, panava, murawa, mrdala. dan telah dikenal sejak masa Weda. Jenis 'dundubhi' disebutkan sebagai 'kendang yang jika dipukul dapat mengalahkan musuh' (Vatsyayan, 1968:175). Di India kendang memainkan peran penting dalam upacara dan mengiringi pertunjukan tari sebagai mana disebutkan di dalam Natya Sastra. Mridangga termasuk sebagai jenis kendang yang utama. Murawa (muraba), mrdala, Mrdangga, (mridangga) barangkali berasal dari akar kata yang sama yakni "mrd" yang berarti 'tanah'.

Dalam mitologi disebutkan bahwa 'mrdangga' atau 'mrdala' diciptakan oleh Dewa Brahma untuk mengiringi tarian Dewa Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123; Haryono, 1986). Dalam kitab Natya Sastra dijumpai istilah bheri, bhambha, dindimas, yang mungkin juga masih termasuk sebagai kelompok instrumen kendang. Kemudian istilah bheri di Jawa sekarang menjadi kelompok ideofon yang disejajarkan dengan bendhe. Dalam beberapa kitab sastra Jawa kuno penyebutan bheri berdekatan dengan kata 'mrdangga, seperti dalam kitab Wirataparwa: ".. prasamanggwal bheri mrdangga, ajimur arok silih-wor ikang prang..." (artinya: “...sama-sama memikul bheri mrdangga, bercampur saling berbaur mereka yang berperang..."); "...humung tang bheri murawa..." (artinya: "Huh suara bheri dan murawa"). Dalam kitab Ramayana (abad X, Masehi) disebutkan: "...tinabih ikang bahiri ring taman..." ("bheri, ditabuh di taman"). Keterangan tersebut memberi kesan bahwa 'bahiri' atau 'bheri' masih dalam kelompok membranofon. Berdasarkan data-data yang dijumpai di kitab-kitab sastra, mrdala atau murawa merupakan instrumen yang sangat penting yang dikombinasikan dengan alat musik yang lain seperti sangkhakala, vina, baribit.

Penyebutan dengan berbagai nama menunjukkan adanya berbagai bentuk kendang dan bahan. Dalam seni arca kendang kecil yang dipegang oleh dewa disebut 'damaru'. Pada relief Candi Borobudur (awal abad ke-9 Masehi) dan Candi Siwa di Prambanan (pertengahan abad ke-9 Masehi) dilukiskan bermacam-macam bentuk kendang (Haryono, 1985; 1986). Ada kendang bentuk silindris langsing, bentuk tong asimetris, bentuk kerucut. Pada pagar langkan candi Siwa (Prambanan) kendang ditempatkan di bawah perut dengan semacam tali. Pada candi-candi yang lebih muda dari sekitar abad ke-14 relief kendang dapat dilihat di candi-candi masa klasik muda (periode Jawa Timur) seperti: Candi Tegawangi, Candi Panataran. Di candi Tegawangi juga dijumpai relief seseorang membawa kendang bentuk silindris dengan tali yang dikalungkan pada kedua bahu. Di Candi Panataran relief kendang digambarkan hanya berselaput satu sisi dan ditabuh dengan menggunakan pemukul berujung bulat. Jaap Kunst (1968:35-36) menyebut instrumen musik ini 'dogdog'. Adanya kesamaan penyebutan kendang dalarn sumber tertulis Jawa Kuno dengan sumber tertulis di India membuktikan bahwa kontak budaya antara keduanya mencakup pula dalarn bidang seni pertunjukan. Namun tidak berarti bahwa kendang Jawa adalah pengaruh kendang India.

Berdasarkan akar kata “mrd” maka kata “mredangga” dalarn prasasti mungkin sekali adalah kendang yang dibuat dari tanah liat. Dalam perkembangan kemudian di Jawa kata “mredangga” menjadi “pradangga” dalam bahasa Jawa Baru yang berarti penabuh gamelan atau niyaga. Perubahan seperti ini terdapat juga pada kata 'kamsa' atau 'kangsa' yang berarti 'perunggu' kemudian di Jawa berubah menjadi 'gangsa' yang berarti 'gamelan'. Oleh karena itu pendapat yang mengatakan bahwa kata 'gangsa' berasal dari kata 'gasa' sebagai kata singkatan (akronim) dari kata 'tiga' + 'sedasa' atau 'tembaga' + 'rejasa' tidak berdasarkan pada hasil penelitian yang valid (Haryono, 2002; 2004:48). Penelitian metalurgis perunggu atas dasar komposisi unsur bahan juga tidak membuktikan adanya komposisi 'tiga' berbanding 'sedasa' (3:10). Sebagai contoh dapat ditunjukkan dari penelitian penults. Hasil penelitian komposisi unsur pada gamelan buatan Papringan (Yogyakarta) = Cu 52,87% : Sn 34,82% : Zn 12,55% ; adapun dari Bekonang (Surakarta) = Cu 48,80% : Sn 39,88% : Zn 10,86%; dan dari Kauman (Magetan) adalah Cu 51,00% : Sn 40,26% : Zn 8,39%. Cu adalah tembaga, Sn untuk timah putih dan Zn untuk seng. Jelaslah bahwa komposisi tersebut tidak menggambarkan perbandingan 3 (tiga) : 10 (sedasa) seperti pendapat pada umumnya (Haryono, 2004:51-52).

Istilah 'gangsa' yang berarti gamelan sudah digunakan pada abad ke-12 Masehi seperti dijumpai dalam kitab Smaradahana (pupuh XXIX:8) : "ginding daityaddhipati ya ta tinabih kendang, gong, gangsa, gubar asahuran artinya Gending dari Sang Raja Raksasa dibunyikan, kendang, gong, gangsa, dan gubar bersahut-sahutan (Poerbatjaraka, 1951; Sedyawati, 1985:236). Dalam gamelan sekarang yang disebut 'gambang gangsa' adalah jenis gambang yang dibuat dari bahan logam (perunggu atau kuningan).

Jenis instrumen membranofon lainnya adalah 'bedug' dan 'trebang'. Istilah 'bedug' dijumpai pada kitab yang lebih muda yakni Kidung Malat. Dalam Kakawin Hariwangsa, Ghatotkacasraya, dan Kidung Harsawijaya instrumen sejenis disebut dengan istilah “tipakan”. Selain itu ada istilah 'tabang-tabang' dalam kitab Ghatotkacasraya dan kitab Sumanasantaka yang kemudian berkembang menjadi istilah 'tribang'. Kutipan teks seperti berikut : "ginding sri saha damya-damyan anameni kidung miring ing tabang tabang" (Gatotkacasraya 37:7); "tabang-tabang ramya karingwangsulan". Jika ini benar berarti apa yang kita sebut 'trebang' maupun “bedhug” bukan instrumen musik yang munculnya setelah datangnya kebudayaan Islam tetapi telah ada sejak abad ke-12 M (Zoetmulder, 1983:317-395).

Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E-F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.


Macam-macam Gamelan

Macam Gamelan terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong dan Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab,, Siter, Suling.

Penjelasan beberapa macam gamelan yaitu :
1.  Kolintang

Kolintang atau Kulintang adalah alat musik khas daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Kolintang dibuat dari kayu lokal yang ringan namun kuat seperti telur, bandaran, wenang, kakinik kayu cempaka, dan yang mempunyai konstruksi fiber paralel. Nama kolintang berasal dari suaranya: tong (nada rendah), ting (nada tinggi) dan tang (nada biasa). Dalam bahasa daerah, ajakan "Marikita lakukan TONG TING TANG" adalah: " Mangemo kumolintang". Ajakan tersebut akhirnya berubah menjadi kata kolintang. Beberapa group terkenal seperti Kadoodan, Tamporok, Mawenangyang sudah eksis lebih dari 35 tahun. Pembuat kolintang tersebar di Minahasa dan di pulau Jawa, salah satu pembuat kolintang yang terkenal Petrus Kaseke.
2.  Suling



Adalah alat musik dari keluarga alat musik tiup kayu. Suara suling berciri lembut dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya dengan baik. Suling modern untuk para ahli umumnya terbuat dari perak,emas atau campuran keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat dari nikel, perak, atau logam yang dilapisi perak. Suling konser standar ditalakan di C dan mempunyai jangkauan nada 3 oktaf dimulai dari middle C. Akan tetapi, pada beberapa suling untuk para ahli ada kunci tambahan untuk mencapai nada B di bawah middle C. Ini berarti suling merupakan salah satu alat musik orkes yang tinggi, hanya piccolo yang lebih tinggi lagi dari suling.
Piccolo adalah suling kecil yang ditalakan satu oktaf lebih tinggi dari suling konser standar. Piccolo juga umumnya digunakan dalam orkes. Suling konser modern memiliki banyak pilihan. Thumb key B-flat (diciptakan dan dirintis oleh Briccialdi) standar. B foot joint, akan tetapi, adalah pilihan ekstra untuk model menengah ke atas dan profesional. Suling open-holed, juga biasa disebut French Flute (dimana beberapa kunci memiliki lubang di tengahnya sehingga pemain harus menutupnya dengan jarinya) umum pada pemain tingkat konser. Namun beberapa pemain suling (terutama para pelajar, dan bahkan beberapa para ahli) memilih closed-hole plateau key. Para pelajar umumnya menggunakan penutup sementara untuk menutup lubang tersebut sampai mereka berhasil menguasai penempatan jari yang sangat tepat. Beberapa orang mempercayai bahwa kunci open-hole mampu menghasilkan suara yang lebih keras dan lebih jelas pada nada-nada rendah. Suling konser pada sebelum Era Klasik (1750) memakai Suling Blok (seperti gambar atas), sedangkan pada sebelum Era Romantis (EraKlasik 1750-1820) pakai Suling Albert (kayu hitam berlubang dan dilengkapi klep), dan sejak Era Romantis (1820) memakai suling Boehm(kayu hitam atau metal dilengkapi klep semua yang disebut juga suling Boehm, sistem Carl Boehm), atau suling saja. Khusus musik keroncong di Indonesia pada Era Stambul (1880-1920) memakai suling Albert, dan pada Era Keroncong Abadi (1920-1960) telah memakai suling Bohm.
3.  Kendang

Kendang atau Gendang adalah instrumen dalam gamelan Jawa Tengah yang salah satu fungsi utamanya mengatur irama. Instrument ini dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu. Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe biasa disebut kendang kalih. Kendang kalih dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi. Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran, ladrang irama tanggung. Untuk wayangan ada satu lagikendhang yang khas yaitu kendhang kosek.Kendang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa.Kendang kebanyakan dimainkan sesuai naluri pengendang, sehingga bila dimainkan oleh satu orang dengan orang lain maka akan berbeda nuansanya.
4.  Rebana
Rebana adalah gendang berbentuk bundar dan pipih. Bingkai berbentuk lingkaran dari kayu yang dibubut, dengan salah satu sisi untuk ditepuk berlapis kulit kambing. Kesenian di Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura yang sering memakai rebana adalah musik irama padang pasir, misalnya : gambus, kasidah dan hadroh.  Bagi masyarakat Melayu di negeri Pahang, permainan rebana sangat populer, terutamanya di kalangan penduduk di sekitar Sungai Pahang. Tepukan rebana mengiringi lagu-lagu tradisional seperti indong-indong, burung kenek-kenek, dan pelanduk-pelanduk. Di Malaysia, selain rebana berukuran biasa, terdapat juga rebana besar yang diberi nama Rebana Ubi, dimainkannya pada hari-hari raya untuk mempertandingkan bunyi dan irama. 
5.  Gendang Karo
Gendang Karo atau Gendang Lima Si Dalinen terdiri dari lima perangkat alat musik tabuh (perkusi) yang dimainkan oleh lima orang pemusik. Kelima perangkat tersebut adalah satu penaruné, dua penggual, dan dua si malu gong. Gendang Lima Si Dalinen disebut karena ensambel musik tersebut terdiri dari lima instrumen musik, yaitu Sarune (aerofon), gendang indung (membranofon), gendang anak (mebranofon, gung, dan penganak. Namun biasa juga disebut dengan Gendang Lima Si Dalinen  Ranggutna Sepuluh Dua, yaitu angka dua belas untuk hitung-hitungan perangkat yang dipergunakan seluruhnya, termasuk stik atau alat memukul instrumen musik tersebut. Jika diklasifikasi berdasarkan ensambel musik, sebenarnya Gendang Karo terdiri dari Gendang Lima Si Dalinen dan Gendang Telu Si Dalinen. Gendang Telu Si Dalinen adalah terdiri dari tiga instrumen musik yang dimainkan secara bersamaan, yang terdiri dari kulcapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi, keteng-keteng (idiokordofon, tube-zhyter) sebagai pembawa ritmis, dan mangkuk mbentar (idiofon) sebagai pembawa tempo.

Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik baru jazz-gamelan, melahirkan institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga menghasilkan pemusik gamelan ternama. Pagelaran musik gamelan kini bisa dinikmati di berbagai belahan dunia, namun Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat untuk menikmati gamelan karena di kota inilah anda bisa menikmati versi aslinya. Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama. Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. 

Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden. Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending. 


Tata Letak Ruang Gamelan

Gamelan sesuai jenis dan karakteristiknya memiliki ukuran-ukurannya sendiri dimana rata-rata ukuran panjang Gamelan berkisar antara 150cm hingga 230cm. Sedangkan lebar gamelan berkisar antara 25cm hingga 85cm.

Umumnya tata letak gamelan adalah pada bagian depan merupakan tempat gamelan ringan seperti Kenong kemudian bagian tengah adalah gamelan sedang seperti kendang dan bagian belakang adalah gamelan berat seperti Gong. Gamelan seperti kenong, kendang tidak hanya satu, sering kali seorang penabuh gamelan menangani dua atau lebih gamelan misalnya penabuh kendang menangani tiga jenis kendang dari ukuran kecil hingga besar. Disamping gamelan, pendukung pertunjukan tari adalah pemaos kandha, pedhalang dan sinden dimana pemaos kandha bertugas membawakan jalan cerita dari lakon yang dipertunjukan, pedhalang mengatur ritme pertunjukan dan sinden mengiringi pertunjukan dengan nyanyian. Umumnya posisi pemaos kandha, pedhalang dan sinden berada di depan para penabuh gamelan. Sehingga dapat diketahui luas area atau ruang dari pemaos kandha, pedhalang, sinden dan gamelan yang dibutuhkan secara umum.

Lebar ruang gamelan berdasar ukuran gamelan paling panjang 8,5 meter. Untuk ruang pemaos kandha, pedhalang dan sinden apabila dihitung maka panjang berdasar pada panjang meja = 2 meter, sedang lebar berdasar pada lebar ukuran duduk bersila manusia ditambah lebar meja menjadi 1,625 meter .

Karena yang diutamakan adalah lebar panngung pendukung maka didapat ukuran lebar sebesar 10 meter, sedangkan untuk panjang menyesuaikan dengan panggung dan banyaknya alat. Sebagai pendukung jalannya pertunjukan tari, gamelan dan pemaos kandha biasanya berada di belakang penari atau dibagian belakang panggung tetapi juga sering berada didepan terutama bila posisi panggung lebih tinggi dari posisi gemelan dan pemaos kandha.


Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan-paduan musik bernada pentatonis dan diatonis. Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00-12.00 WIB, digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.

Perlu dipikirkan pula demi kelestarian kebudayaan kita sendiri yang sungguh-sungguh Adhi Luhur, penuh dengan estetika, keharmonisan, ajaran-ajaran, filsafat-filsafat, tata-krama, kemasyarakatan, toleransi, pembentukan manusia-manusia yang bermental luhur, tidak lepas pula sebagai faktor pendorong insan dalam beribadah terhadap Allah SWT, yaitu dengan sarana kerja keras dan itikat baik memelihara atau menjaga seni dan budaya sendiri. Bahkan komunikasi perlu dijaga sebaik-baiknya sebagai sumber atau gudang yang masih menyimpan berbagai ilmu yang berhubungan dengan masalah kebudayaan itu sendiri, terutama dengan para empu-empu karawitan, tari dan sebagainya.

Gamelan Jawa sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah 'mendunia'. Oleh karena itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki seperangkat gamelan Jawa.



sumber dikutip dari :
[1]  http://dubbing.kapanlagi.com/
[2]  http://id.scribd.com/doc/
[3]  http://sun-from-solo.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar