Jumat, 23 November 2012

Mahakarya Warisan Budaya Nusantara - KERIS

Keris Nogososro 
Salah satu Mahakarya Warisan Budaya Leluhur yang hingga kini masih tetap terjaga dan lestari bumi Nusantara ini adalah KERIS. KERIS INDONESIA telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.


KERIS adalah senjata yang bukan sekedar senjata mematikan melainkan juga sebuah Mahakarya Seni Senjata yang sangat bernilai tinggi. Tingginya nilai seni pada senjata KERIS terletak pada keindahan bentuk dan bahan yang dipakai serta proses pembuatannya yang memerlukan waktu yang lama, ketekunan dan ketrampilan yang khusus.


KERIS sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh daerah-daerah yang memiliki rumpun Melayu atau bangsa Melayu. Pada saat ini, Keberadaan Keris sangat umum dikenal di daerah Indonesia terutama di daerah pulau Jawa dan Sumatra, Malaysia, Brunei, Thailand dan Filipina khususnya di daerah Filipina selatan (Pulau Mindanao). Namun, bila dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia, keberadaan keris dan pembuatnya di Filipina telah menjadi hal yang sangat langka dan bahkan hampir punah.




KERIS termasuk jenis senjata tikam. Namun bukan semua senjata tikam dapat disebut sebagai KERIS. Kritera-kriteria yang harus dipenuhi sehingga layak disebut sebagai KERIS. Jenis Artefak yang dapat digolongkan sebagai KERIS perlu memenuhi kriteria sebagai berikut : KERIS harus terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian Bilah atau Mata Keris dan bagian Ganja.

Bagian Bilah melambangkan wujudnya Lingga, sedangkan pada bagian Ganja melambangkan wujudnya Yoni.


Dalam Falsafah Hindu, persatuan antara Lingga dan Yoni merupakan Simbol dari Kesuburan, Keabadian dan Kekuatan. Bilah KERIS harus membuat sudut tertentu terhadap ganja yakni tidak tegak lurus. Posisi bilah keris yang miring atau condong itu melambangkan sifat manusia yang terpuji (yakni manusia harus memiliki sifat yang senantiasa tunduk dan hormat baik kepada Sang Pencipta, tetapi juga kepada sesama manusia). Hal ini sesuai dengan Falsafah Padi : Semakin Berisi Semakin Merunduk. Berdasarkan falsafah ini, pendapat yang mengatakan bahwa KERIS dibuat semata-mata sebuah senjata untuk membunuh, maka hal tersebut dengan sendirinya keliru (Soekiman1983). Ukuran panjang bilah KERIS lazimnya adalah antara 33 cm sampai 38 cm. Namun, bilah KERIS yang terdapat di luar pulau Jawa, memiliki ukuran panjang hingga 58 cm, bahkan di Filipina Selatan ukuran panjang KERIS ada yang mencapai 64 cm. Mengenai senjata tikam menyerupai keris yang panjangnya di bawah ukuran yang lazim, menurut banyak ahli belum dapat dikategorikan sebagai KERIS, tetapi keris-kerisan. KERIS yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam Logam, yaitu Besi, Baja dan bahan Pamor.


Keris-keris tua atau lebih tepatnya KERIS PROTOTIPE, misalnya KERIS BUDHA, yang tidak menggunakan Pamor (Harsrinuksmo 2004). Meskipun ada beberapa kriteria lain yang dapat disandangkan pada KERIS, misalnya Sarung (WARANGKA) KERIS dan Bentuk KERIS. Oleh sebab itu, artefak-artefak yang menyerupai KERIS yang terbuat dari Tembaga, Kuningan dan Logam selain yang disebut diatas, tidak dapat digolongkan sebagai KERIS. Begitu juga dengan keris yang dibuat tidak melalui proses penempaan melainkan dicor, meskipun terbuat dari bahan besi atau baja, juga belum dapat dikatakan sebagai KERIS (Harsrinuksmo2004).



Teori Sejarah KERIS

G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah mengemukakan sebuah teori bahwa KERIS adalah sebuah perkembangan inovasi bentuk dari senjata tikam di zaman prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.

Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937 berpendapat bahwa Budaya KERIS baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya, bentuk KERIS merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata Lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama KERIS. Alasan lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang mendapatkan bahan Besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga menjadi senjata genggam.

Lain lagi pendapat A.J. BARNET KEMPERS. Pada tahun 1954 ahli purbakala itu menduga bentuk prototipe KERIS merupakan perkembangan bentuk dari senjata penusuk pada zaman perunggu. KERIS yang hulunya berbentuk patung kecil yang menggambarkan manusia dan menyatu dengan Bilahnya, oleh Barnet Kempers bukan dianggap sebagai barang yang luar biasa.
Barnet Kempers juga mengatakan bahwa senjata tikam dari kebudayaan perunggu Dong-son juga berbentuk mirip itu. Hulunya merupakan patung kecil yang menggambarkan manusia sedang berdiri sambil berkacak pinggang (Bahasa Jawa = Malang Kerik). Sedangkan senjata tikam kuno yang pernah ditemukan di pulau Kalimantan, pada bagian hulunya juga distilir dari bentuk orang berkacak pinggang.Perkembangan bentuk dasar senjata tikam itu dapat dibandingkan dengan perkembangan bentuk senjata di Eropa. Di benua itu, dulu pedang juga distilir dari bentuk menusia dengan kedua tangan terentang lurus ke samping. Bentuk hulu pedang itu, setelah menyebarnya agama Kristen, kemudian dikembangkan menjadi bentuk yang serupa salib.

Dalam kaitannya dengan bentuk KERIS di Indonesia, hulu KERIS yang berbentuk manusia (yang distilir), ada yang berdiri, ada yang membungkuk, dan ada pula yang berjongkok, Bentuk ini serupa dengan patung Megalitik yang ditemukan di Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam perkembangan kemudian, bentuk-bentuk itu makin distilir lagi dan kini menjadi bentuk hulu KERIS (Di Pulau Jawa disebut Deder, Jejeran, atau Ukiran) dengan ragam hias Cecek, Patra Gandul, Patra Ageng, Umpak-umpak, dsb.

Dalam sejarah budaya kita, patung atau arca orang berdiri dengan agak membungkuk, oleh sebagian ahli, diartikan sebagai lambang orang mati. Sedangkan patung yang menggambarkan manusia dengan sikap sedang jongkok dengan kaki ditekuk, dianggap melambangkan kelahiran, persalinan, kesuburan, atau kehidupan. Sama dengan sikap bayi atau janin dalam kandungan ibunya.Ada sebgian ahli bangsa Barat yang tidak yakin bahwa keris sudah dibuat di Indonesia sebelum abad ke-14 atau 15. Mereka mendasarkan teorinya pada kenyataan bahwa tidak ada gambar yang jelas pada relief candi-candi yang dibangun sebelum abad ke-10. SIR THOMAS STAMFORD RAFFLES dalam bukunya History of Java (1817)  mengatakan, tidak kurang dari 30 jenis senjata yang dimiliki dan digunakan prajurit Jawa waktu itu, termasuk juga senjata api. Tetapi dari aneka ragam senjata itu, KERIS menempati kedudukan yang istimewa.Disebutkan dalam bukunya itu, prajurit Jawa pada umumnya menyandang tiga buah KERIS sekaligus. KERIS yang dikenakan di pinggang sebelah kiri, berasal dari pemberian mertua waktu pernikahan (dalam budaya Jawa disebut Kancing Gelung). KERIS yang dikenakan di pinggang kanan, berasal dari pemberian orang tuanya sendiri. Selain itu berbagai tata cara dan etika dalam dunia perkerisan juga termuat dalam buku Raffles itu. Sayangnya dalam buku yang terkenal itu, penguasa Inggris itu tidak menyebut-nyebut tentang sejarah dan asal usul budaya KERIS.

Sementara itu istilah KERIS sudah dijumpai pada beberapa prasasti kuno. Lempengan perunggu bertulis yang ditemukan di Karangtengah, berangka tahun 748 Saka, atau 842 Masehi, menyebut-nyebut beberapa jenis sesaji untuk menetapkan Poh sebagai daerah bebas pajak, sesaji itu antara lain berupa ‘KRES’, WANGKIUL, TEWEK PUNUKAN, WESI PENGHATAP. KRES yang dimaksudkan pada kedua prasasti itu adalah KERIS. Sedangkan WANGKIUL adalah sejenis TOMBAK, TEWEK PUNUKAN adalah senjata bermata dua, semacam DWISULA.

Pada lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian tenggara, tergambar beberapa orang prajurit membawa senjata tajam yang serupa dengan KERIS yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa benar dengan KERIS. Di Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada. Arca raksasa penjaga, menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip KERIS.Sementara itu edisi pertama dan kedua yang disusun oleh Prof. P.A VAN DER LITH menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, itu dibongkar, ditemukan sebilah KERIS Tua. KERIS itu menyatu antara bilah dan hulunya. Tetapi bentuk KERIS itu tidak serupa dengan bentuk KERIS yang tergambar pada relief candi. KERIS temuan ini kini tersimpan di Museum Ethnografi, Leiden, Belanda. Keterangan mengenai KERIS temuan itu ditulis oleh Dr. H.H. JUYNBOHL dalam Katalog Kerajaan (Belanda) jilid V, Tahun 1909. Di katalog itu dikatakan, KERIS itu tergolong ‘KERIS MAJAPAHIT‘, Hulunya berbentuk patung orang, Bilahnya sangat tua. Salah satu sisi bilah telah rusak. KERIS, yang diberi nomor seri 1834, itu adalah pemberian G.J. HEYLIGERS, sekretaris kantor Residen Kedu, pada bulan Oktober 1845. Yang menjadi residennya pada waktu itu adalah Hartman. Ukuran panjang bilah keris temuan itu 28.3 cm, panjang hulunya 20,2 cm, dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai LUK.

Mengenai KERIS ini, banyak yang menyangsikan apakah sejak awalnya memang telah diletakkan di tengah lubang stupa induk Candi Borobudur. Barnet Kempres sendiri menduga KERIS itu diletakkan oleh seseorang pada masa-masa kemudian, jauh hari setelah Candi Borobudur selesai dibangun. Jadi bukan pada waktu pembangunannya.

Ada pula yang menduga, budaya KERIS sudah berkembang sejak menjelang tahun 1.000 Masehi. Pendapat ini didasarkan atas laporan seeorang musafir Cina pada tahun 922 Masehi. Jadi laporan itu dibuat kira-kira zaman Kahuripan berkembang di tepian Kali Brantas, Jawa Timur. Menurut laporan itu, ada seseorang Maharaja Jawa menghadiahkan kepada Kaisar Tiongkok “a short swords with hilts of rhinoceros horn or gold (pedang pendek dengan hulu terbuat dari dari cula badak atau emas). Bisa jadi pedang pendek yang dimaksud dalam laporan itu adalah prototipe KERIS seperti yang tergambar pada relief Candi Borobudur dan Prambanan.

Sebilah KERIS yang ditandai dengan angka tahun pada bilahnya, dimiliki oleh seorang Belanda bernama Knaud di Batavia (pada zaman Belanda dulu). Pada bilah KERIS itu selain terdapat gamabar timbul wayang, juga berangka tahun Saka 1264, atau 1324 Masehi. Jadi kira-kira sezaman dengan saat pembangunan Candi Penataran di dekat kota Blitar, Jawa Timur. Pada candi ini memang terdapat patung raksasa Kala yang menyandang KERIS pendek lurus.

Gambar yang jelas mengenai KERIS dijumpai pada sebuah patung Shiwa yang berasal dari zaman Kerajaan Singasari, pada abad ke-14. Digambarkan dengan Dewa Shiwa sedang memegang KERIS panjang di tangan kanannya. Jelas ini bukan tiruan patung Dewa Shiwa dari India, karena di India tak pernah ditemui adanya patung Shiwa memegang KERIS. Patung itu kini tersimpan di Museum Leiden, Belanda.

Pada zaman-zaman berikutnya, makin banyak candi yang dibangun di Jawa Timur, yang memiliki gambaran KERIS pada dinding reliefnya. Misalnya pada Candi Jago atau Candi Jajagu, yang dibangun tahun 1268 Masehi. Di candi itu terdapat relief yang menggambarkan Pandawa (tokoh wayang) sedang bermain dadu. Punakawan yang terlukis di belakangnya digambarkan sedang membawa KERIS. Begitu pula pada candi yang terdapat di Tegalwangi, Pare, dekat Kediri, dan Candi Panataran. Pada kedua candi itu tergambar relief tokoh-tokoh yang memegang KERIS.

Cerita mengenai KERIS yang lebih jelas dapat dibaca dari laporan seorang musafir Cina bernama Ma Huan. Dalam laporannya Yingyai Sheng-lan di tahun 1416 Masehi. Yingyai Sheng-lan menuliskan pengalamannya sewaktu mengunjungi Kerajaan Majapahit.

Ketika itu ia datang bersama rombongan Laksamana Cheng-Ho atas perintah Kaisar Yen Tsung dari dinasti Ming. Di Majapahit, Ma Huan menyaksikan bahwa hampir semua lelaki di negeri itu memakai pulak, sejak masih kanak-kanak, bahkan sejak berumur tiga tahun. Yang disebut pulak oleh Ma Huan adalah semacam belati lurus atau berkelok-kelok. Jelas ini yang dimaksud adalah KERIS. 
Kata Ma Huan dalam laoparan itu: These daggers have very thin stripes and within flowers and made of very best steel; the handle is of gold, rhinoceros, or ivory, cut into the shapeof human or devil faces and finished carefully.
Laporan ini membuktikan bahwa pada zaman itu telah dikenal teknik pembuatan senjata tikam dengan hiasan Pamor dengan gambaran garis-garis amat tipis serta bunga-bunga keputihan. Senjata ini dibuat dengan baja berkualitas prima. Pegangannya, atau Hulunya, terbuat dari emas, cula badak, atau gading. Tak pelak lagi, tentunya yang dimaksudkan Ma Huan dalam laporannya adalah KERIS yang kita kenal sekarang ini.

Gambar timbul mengenai cara pembuatan KERIS, dapat disaksikan di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada candra sengkala memet di candi itu, terbaca angka tahun 1316 Saka atau 1439 Masehi. Cara pembuatan KERIS yang digambarkan di candi itu tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris keris pada zaman sekarang. Baik peralatan kerja, palu dan ububan, maupun hasil karyanya berupa keris, tombak, kudi, dll.

Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan KERIS oleh laki-laki Jawa. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.


Berita-berita Portugis dan Perancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas Pamor dan pemakaian pegangan KERIS dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara.
... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal...— Tome Pires, "Suma Oriental"



Morfologi KERIS

Bagian-bagian KERIS

Pegangan KERIS
Pegangan KERIS ini bermacam-macam motifnya, untuk KERIS Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari, pertapa, hutan ,dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia .Pegangan KERIS Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada KERIS Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu. 
KERIS mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk pegangan KERIS Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking (kepala bagian belakang), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul. 

Wrangka atau Rangka
Wrangka, rangka atau sarung KERIS adalah bagian (kelengkapan) yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, karena bagian wrangka inilah yang secara langsung dilihat oleh umum . Wrangka yang mula-mula (sebagian besar) dibuat dari bahan kayu (jati, cendana, timoho, kemuning, dll), kemudian sesuai dengan perkembangan zaman maka terjadi perubahan fungsi wrangka (sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya). Kemudian bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading. Secara garis besar terdapat dua macam wrangka, yaitu jenis wrangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong dan gandek. Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan saat menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkimpoian, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar KERIS di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan KERIS ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang). Dalam perang, yang digunakan adalah KERIS wrangka gayaman, pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana. Ladrang dan gayaman merupakan pola bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang (sepanjang wilah KERIS) yang disebut gandar atau antupan, maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu (dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran) Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok (lapisan selongsong) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam kuningan, suasa (campuran tembaga emas), perak, emas. Untuk daerah diluar Jawa (kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang, Riau, Bali) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian. Untuk keris Jawa, menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).

Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul, kebo tedan, pudak sitegal, dll. Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting. 
KERIS Bali pesi-nya biasanya lebih panjang dan lebih besar. Panjangnya sekitar 9-9.5 cm, dan penampangnya sekitar 1 cm. KERIS buatan Riau, Palembang, serta Semenanjung Malaya lain lagi. Pesi dari daerah-daerah ini ukurannya pendek namun besar. Panjangnya sekitar 5-6 cm dan penampangnya 9 mm.


Ganja

Adalah bagian pangkal (dasar KERIS) atau bagian bawah dari sebilah KERIS (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya Aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut, dungkul, kelap lintah dan sebit rontal. Pada tengah ganja, ada lubang untuk memasukkan pesi.



Bagian bilah dan ganja merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.



Luk

Adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah KERIS, dan dilihat dari bentuknya KERIS dapat dibagi dua golongan besar, yaitu KERIS yang lurus dan KERIS yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal KERIS ke arah ujung KERIS, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada KERIS yang jumlah luk-nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut KERIS KALAWIJA atau keris tidak lazim .


Pamor

Pamor mengandung dua pengertian. Yang pertama merujuk pada gambaran tertentu pada bilah yang berupa garis, lengkungan, lingkaran, noda, titik, atau belang-belang yang tampak pada permukaan bilah KERIS. Sedangkan yang kedua merujuk pada bahan pembuat pamor. Motif atau pola gambaran pamor terbentuk pada permukaan bilah KERIS karena adanya perbedaan warna dan perbedaan nuansa dari bahan-bahan logam yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan KERIS. Dengan teknik tempa tertentu, logam bahan baku KERIS akan menyatu dalam bentuk lapisan-lapisan tipis, tetapi bukan bersenyawa dengan atau lebur dengan bahan lainnya. Karena adanya penyayatan pada permukaan bilah KERIS itu, gambaran pamor akan terbentuk. Teknik tempa dalam pembuatan senjata berpamor ini merupakan ketrampilan khas Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Bahkan seni pamor itu mungkin bisa dibilang penemuan orang Indonesia. Tidak ada bangsa lain selain Indonesia yang dalam catatan sejarah kebudayaannya mengenal seni tempa senjata berpamor, sebelum abad ke-10 M.




Dilihat dari bentuknya, KERIS dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu KERIS lurus dan KERIS Luk (berkelok-kelok). Jumlah kelokan KERIS selalu merujuk pada bilangan gasal, tidak ada yang genap, karena semua benda kebudayaan yang dibuat oleh manusia tidak pernah bersifat sempurna.

Secara harfiah, tangguh berarti perkiraan. Dalam perkiraan di Pulau Jawa, tangguh meliputi perkiraan mengenai zaman pembuatan atau gaya pembuatan. Jadi, jika seseorang menyebut tangguh Jenggala, maka KERIS tersebut dibuat ada zaman Kerajaan Jenggala.


Dapur KERIS

Adalah penamaan ragam bentuk KERIS sesuai ricikan yang terdapat pada KERIS itu dari jumlah Luk-nya. Penamaan dapur KERIS ada patokannya, ada pembakuannya. Dalam dunia perkerisan, patokan atau pembakuan ini biasanya disebut dapur keris. Misalnya, keris yang bentuknya lurus, memakai gandik (bagian raut muka KERIS) polos, tikel alis (bagian dari keris yang berupa alur dangkal, melengkung seperti alis), dan pejetan (istilah yang digunakan untuk menyebut KERIS yang pada permukaan bilahnya terdapat lekukan-lekukan menyerupai bekas pijatan jari tangan), disebut KERIS Dapur Tilam Upih.

KERIS Dapur Tilam Upih adalah salah satu bentuk hiasan tambahan pada KERIS, tombak, pedang, atau tosan aji lainnya. Bila hiasan itu terbuat dari emas, maka disebut kinatah emas, dan sebagainya.
Ki Supa adalah pendiri garis empu yang mengabdi pada raja-raja Mataram berikutnya. Diyakini secara umum bahwa garis keturunan ini telah putus dan tidak ada empu lagi yang memiliki kesaktian seperti Ki Supa di era Jawa modern. KERIS memang masih dibuat, tetapi KERIS dalam bentuk modern dianggap kosong dan tidak mempunyai nilai sebagai benda pusaka.


Sandang Walikat 

Adalah salah satu model warangka keris gaya Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Bali, Madura, dan juga dikenal di daerah lain Indonesia. Warangka sandang walikat memiliki bentuk lebih sederhana dan praktis. Karena bentuknya yang sederhana dan fungsional, pada zaman dulu warangka inilah yang sering dibawa saat pertempuran atau perjalanan jauh. Kebanyakan warangka ini dibuat dari kayu. Para kolektor KERIS masa kini pada umumnya menggunakan warangka sandang walikat untuk KERIS-KERIS berbilah pendek, misalnya KERIS Jalak Budha, Betok, Semar Tinandu, dan lain-lain.


Silih Asih

Adalah suatu bentuk hiasan, bisa kinatah, bisa sinarasah (Dapur KERIS Luk Lima), bisa juga dalam bentuk motif atau pola hiasan pada pendok (lapisan pelindung warangka), yang menggunakan dua bahan logam berlainan dan mempunyai perbedaan warna yang mencolok. Biasanya, logam yang digunakan adalah emas dan perak.



KERIS memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram baru (abad ke-17-18). Pemerhati dan kolektor KERIS lebih senang menggolongkannya sebagai "KERIS kuno" dan "KERIS baru" yang istilahnya disebut nem-neman (muda usia atau baru). Prinsip pengamatannya adalah "KERIS kuno" yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari sumber alam-tambang-meteor (mengingat belum adanya pabrik peleburan bijih besi, perak, nikel dll), sehingga logam yang dipakai masih mengandung banyak jenis logam campuran lainnya, seperti bijih besinya mengandung titanium, cobalt, perak, timah putih, nikel, tembaga dll. 

Sedangkan KERIS baru (setelah abad 19) biasanya hanya menggunakan bahan besi, baja dan nikel dari hasil peleburan biji besi, atau besi bekas (besi jembatan, besi rel kereta api dll) yang rata-rata adalah olahan pabrik, sehingga kemurniannya terjamin atau sedikit sekali kemungkinannya mengandung logam jenis lainnya. Misalkan penelitian Haryono Arumbinang, Sudyartomo dan Budi Santosa (sarjana nuklir BATAN Yogjakarta) pada era 1990, menunjukkan bahwa sebilah KERIS dengan tangguh Tuban, dapur Tilam Upih dan pamor Beras Wutah ternyata mengandung besi (fe), arsenikum (warangan) dan Titanium (Ti), menurut peneliti tersebut bahwa KERIS tersebut adalah "KERIS kuno", karena unsur logam titanium, baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri pada sekitar tahun 1940-an, dan logam yang kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dari besi, banyak digunakan sebagai alat transportasi modern (pesawat terbang, pesawat luar angkasa) ataupun roket, jadi pada saat itu teknologi tersebut belum hadir di Indonesia. Titanium banyak diketemukan pada batu meteorit dan pasir besi biasanya berasal dari daerah Pantai Selatan dan juga Sulawesi. Dari 14 KERIS yang diteliti, rata-rata mengandung banyak logam campuran jenis lain seperti cromium, stanum, stibinium, perak, tembaga dan seng, sebanyak 13 KERIS tersebut mengandung titanium dan hanya satu KERIS yang mengandung nikel. KERIS baru dapat langsung diketahui kandungan jenis logamnya karena para Mpu (pengrajin KERIS) membeli bahan bakunya di toko besi seperti besi, nikel, kuningan dll. Mereka tidak menggunakan bahan dari bijih besi mentah (misalkan diambil dari pertambangan) atau batu meteorit, sehingga tidak perlu dianalisis dengan isotop radioaktif. Sehingga kalau ada keris yang dicurigai sebagai hasil rekayasa, atau keris baru yang berpenampilan keris kuno maka penelitian akan mudah mengungkapkannya.

KERIS Pusaka yang tersohor di bumi Nusantara :
Keris Mpu Gandring, Keris Pusaka Setan Kober, Keris Kyai Sengkelat, Keris Pusaka Nagasastra Sabuk Inten, Keris Kyai Carubuk, Keris Kyai Condong Campur, Keris Taming Sari, Keris Si Ginje.

KERIS disebut sebagai jati diri bangsa, karena KERIS dibentuk setidaknya dari 3 unsur. Ditempa dalam bara, semangat keselarasan, dan nuansa kedekatan dengan Sang Maha Pencipta. Sama halnya dengan terbentuknya bangsa ini, yang terbangun dari berbagai suku, ras, agama, dan golongan. Kemudian disimbolkan dalam "BHINNEKA TUNGGAL IKA".






Sumber dikutip dari :


[1] http://yafi20.blogspot.com/
[2] http://id.scribd.com/doc/26034779/
[3] http://www.prohita.com/
[4] http://id.wikipedia.org/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar