Kamis, 25 Oktober 2012

Sejarah Perang Kemerdekaan Kota Pahlawan - Surabaya



Patroli Serdadu Inggris di kota Surabaya
Atas Berkat Ridho dan Rohmat Allah SWT, Arek-Arek Suroboyo berhasil membunuh 2 orang Jendral Inggris sekaligus (Brigjen A.W.S. Mallaby dan Brigjen Robert Guy Loder Symonds). Ini pertama kalinya dalam sejarah militer Inggris di dunia. Dan ini diseluruh dunia HANYA TERJADI di KOTA SURABAYA - INDONESIA. 








Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya adalah perang pertama pasukan Indonesia (rakyat Surabaya) dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan merupakan satu-satunya perang terbesar dan terberat dalam Sejarah Revolusi Nasional Indonesia, yang kemudian peristiwa ini menjadi simbol nasionalisme seluruh rakyat Indonesia atas perlawanan terhadap kolonialisme/imperalisme. Pasukan Inggris menyebut peristiwa “Battle of Surabaya” sebagai “INFERNO” atau Neraka di Timur Jawa yang pernah dimuat di majalah New York Times edisi 15 November 1945. Dalam sejarah perang Inggris selama lima tahun dengan NAZI, Pasukan Kerajaan Inggris tidak pernah kehilangan satu Jenderal pun.

Akan tetapi di kota Surabaya baru lima hari mendarat seorang Jenderal terbunuh. Hal inilah yang membuat marah besar para pimpinan militer Kerajaan Inggris. Di Singapura para pimpinan militer Kerajaan Inggris berkumpul untuk membahas hal yang telah menjadi aib dalam sejarah militer mereka. Bahkan ada salah seorang panglima perang Inggris yang seloroh bahwa. “Kita sudah kalah di Surabaya”.


Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia

Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang mendarat di pulau Jawa. Ada beberapa titik pendaratan pasukan Jepang di pulau Jawa, yaitu di daerah Banten, dan di Eretan Wetan (sekitar Indramayu/Subang), serta di dua titik daerah pendaratan di Jawa bagian Tengah (Kranggan). Pada saat pendaratan itu Pasukan Jepang dihadang oleh tiga divisi tentara Hindia Belanda yang merupakan gabungan dari Australia, Inggris, dan Amerika. Dan mulailah pertempuran darat yang singkat.

Pada tanggal 5 Maret 1942, Pasukan Jepang melancarkan serangan udara ke Cilacap, dan pada hari itu pula, Batavia berhasil dikuasainya yang memang sebelumnya dikosongkan oleh Belanda.

Lapangan Terbang Andir, di Bandung (sekarang bernama Bandara Udara Hussein Sastranegara) sempat dibombardir beberapa kali dan superioritas Pasukan Jepang di udara benar-benar membuat pasukan Belanda dan para sekutu tidak berkutik.

Pada hari Minggu malam jam 23.00, tanggal 8 Maret 1942 radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) yang memancarkan gelombangnya melalui stasiun darurat di Ciumbuluit untuk terahir kalinya menyiarkan siarannya kedunia bebas. Penyiar Bert Garthoff sempat menyampaikan salam terahir : “Wij sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin !” yang artinya : “Kami tutup siaran ini sekarang, Selamat berpisah, sampai berjumpa kembali diwaktu yang lebih baik. Hidup Sri Ratu !”. Beberapa jam sebelumnya, pada hari Minggu sore jam 17.15 wib, memang telah terjadi peristiwa besar yakni Kapitulasi Belanda kepada Jepang bertempat di Lapangan Terbang Militer Kalijati Subang. Semua kejadian ini merupakan kelanjutan serangan Pasukan Jepang ke Asia Tenggara dalam rangka Gelar Perang Pasifik yang mereka namakan “Perang Asia Timur Raya” atau “Dai Toa Shenso”.

Dan yang paling tragis adalah kekuasaan militer sekutu yakni ABDA (American, British, Dutch dan Australia) di Pulau Jawa dapat dengan mudah ditaklukkan dalam waktu 5 hari saja oleh Pasukan Kekaisaran Jepang.

Sebenarnya Komando ABDA (ABDACOM) pada sekitar pertengahan Februari 1942 sudah dibubarkan yang kemudian disusul oleh hengkangnya Laksamana Sir Archibald Wavell selaku pucuk pimpinan ABDA.

Selanjutnya kekuatan sekutu lainnya berada dibawah pimpinan Panglima tertinggi militer Belanda. Menurut konstitusi yang ada saat itu bahwa yang menjadi Panglima tertinggi adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dan dalam perkembangan selanjutnya peperangan yang telah dimenangkan oleh pasukan Jepang diberbagai tempat, pada tanggal 4 Maret 1942 pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, telah diserah terimakan kepada Panglima KNIL yakni Letnan Jendral Terporten. Oleh karena itulah dalam Kapitulasi Kalijati, bertindak sebagai penyerah kekuasaan dari pihak Belanda pada saat itu adalah Panglima tentara sekutu di Hindia Belanda, Let.Jend. Terporten. Sedangkan dari pihak Jepang sebagai penerima adalah Let.Jend. Hithoshi Immura yang merupakan panglima tertinggi tentara ke-16 kekaisaran Jepang yang ditugaskan di Pulau Jawa. Pada tanggal 8 Maret 1942, tidak begitu banyak yang dibicarakan terutama karena pertemuan resmi baru terjadi setelah hampir jam 18.00 wib. Keluarnya pernyataan penyerahan tanpa syarat oleh pemerintah kolonial Belanda. Hari tersebut sungguh berat bagi kelompok Belanda. Apalagi petinggi Hindia Belanda ini baik sipil maupun militer termasuk Gubernur Jenderalnya disuruh menunggu sejak pagi hari karena harus menanti tibanya Let.Jend. Hithoshi Imamura yang terlambat dan baru tiba pada jam 17.00 wib di Kalijati.

Mereka (dalam hal ini petinggi Hindia Belanda ini baik sipil maupun militer) mengalami tekanan fisik dan mental tanpa diberikan makanan serta sempat mengalami derasnya hujan yang terjadi menjelang sore hari. Esok harinya Senin, tanggal 9 Maret 1942, jam 06.00 pagi NIROM ternyata masih membuka siarannya dengan lagu kebangsaan “Wilhelmus”. Kemudian pada jam 06.30 pagi dilanjutkan dengan pengumuman resmi pemerintah yang disampaikan oleh seorang perwira tinggi dari staf Jenderal atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tentang “Penghentian Perang dan Penyerahan Militer Secara Total”.

Letjen Ter Poorten mewakili
Gubernur Jendral Hindia Belanda
menandatangani pernyataan
MENYERAH TANPA SYARAT
Dan berakhirlah era kolonialisme Hindia Belanda di Bumi Nusantara. Panglima Letjen Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda termasuk di antara orang-orang yang menyerahkan diri kepada Jepang dan kemudian sempat digelandang berjalan kaki dinaikkan ke truk lalu dijebloskan ke penjara interniran. Interniran untuk petinggi-petinggi konon ada di Cimahi (di barat Bandung) dan Cideng (di Batavia).

Paralel dengan itu, di kota Surabaya juga diserang dari dua arah, dan Jenderal Ilgen yang memimpin Belanda di sana tidak begitu bersemangat untuk bertempur.

Minggu pertama pada bulan Maret 1942, mereka sudah terdesak ke seberang Kali Porong, dan bersamaan itu pula pada tanggal 8 Maret 1942, kota Surabaya sudah sepenuhnya jatuh pada Pasukan Kekaisaran Jepang. Oknum-oknum yang tidak mau menyerah, berusaha kabur sebisa mungkin melalui pesawat-pesawat yang masih bisa disusupkan ke Australia, atau mereka menghilang bersembunyi dari keramaian.

Setelah penyerahan tanpa syarat, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Pada tanggal 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No. 44 tentang Pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65 Daidan (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap Daidan beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho (komandan batalyon), pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat Chudancho. Setiap Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin seorang Chudancho (komandan kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan terdiri dari 3 shodan yang dipimpin seorang shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat letnan. Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin seorang bundancho (komandan regu) pangkat setingkat sersan. Dari 65 batalyon itu, 20 orang komandan dan kepala stafnya adalah para kyai. Karena banyaknya kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka; "Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai ?".

Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan oleh pemuka agama yang didukung petani, perajin, tukang, nelayan, pedagang yang dipersenjatai, yang di dalam peperangan menggunakan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam di Indonesia memasuki babak baru sejarah perang modern di mana sebagian besar umat Islam dilatih langsung oleh tentara-tentara professional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda yang didukung sekutu dalam pertempuran di Laut Jawa.

KH. Hasyim Asy'ari
Setahun kemudian, pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai muda dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), Kyai Mawardi (Solo), Kyai Zarkasi (Ponorogo), Kyai Mursyid (Pacitan), Kyai Syahid (Kediri), Kyai Abdul Halim (Majalengka), Kyai Thohir Dasuki (Surakarta), Kyai Roji'un (Jakarta), Kyai Munasir Ali (Mojokerto),  Kyai Abdullah, Kyai Wahib Wahab (Jombang), Kyai Hasyim Latif (Surabaya), Kyai Zainuddin (Besuki), Kyai Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
KH. Hasyim Asy'ari menyambut baik pembentukan paramiliter Hizbullah ini. Itu tercermin pada sambutan tertulis beliau selaku Syuumubutyo (Kepala Jawatan Agama) yang dibacakan oleh KH. Abdul Kahar Muzakkir, dalam penutupan latihan pemimpin Hizbullah se-Jawa pada 20 Mei 1945, yang isinya sebagai berikut :
"Saya yakin bahwa pemuda yang telah rela memasuki barisan Hizbullah dan yang sabar mengatasi segala kesukaran dalam latihan ini adalah pemuda-pemuda Islam pilihan di seluruh Jawa. Maka pada saat Bangsa Indonesia menghadapi suatu kejadian yang penting sekali, yakni timbulnya bangsa yang merdeka, yang dapat menegakkan agama Allah, sungguh besar kewajibanmu sebagai harapan bangsa. Bangsa Indonesia kini sedang berjuang, untuk membentuk dan menyelenggarakan Negara Indonesia yang merdeka. Kamu harus menjadi tenaga yang sebaik-baiknya untuk mencapai cita-cita itu. Buktikanlah kepada segenap dunia, bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang masih hidup dan umat Islam di Indonesia adalah umat yang masih hidup pula".
Sebulan setelah latihan pemimpin Hizbullah, diselenggarakan pula latihan seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki yang dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.

Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Mayor Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH. Mursyid sebagai penasehat, Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho),  dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki.

Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Para kyai di pesantren-pesantren pun membentuk satuan-satuan paramiliter baru yang disebut Sabilillah. Para santri dan warga sekitar pesantren adalah anggota utama dari pasukan Sabilillah ini. Sementara masyarakat yang tinggal di  kawasan Surabaya - Gresik - Lamongan - Tuban - Bojonegoro - Mojokerto - Jombang - Pasuruan - Malang ditambah masyarakat Tapal Kuda yang secara kultural memiliki akar yang sama dengan NU adalah komunitas yang selama pendudukan Jepang mendapat latihan-latihan militer lewat Tonari Gumi dengan Kinrohoshi, Chokai dengan Keibodan, dan Seinendan.

Keibodan yang dipersenjatai takiyari (bambu runcing) di seluruh Jawa dengan jumlah ditaksir lebih dari satu juta orang. Sementara pemuda pelajar yang dilatih dalam Seinendan diperkirakan jumlahnya sekitar lima juta orang.


Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Ir. Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kedatangan Tentara Inggris dan Belanda

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta.

Setelah munculnya Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai tanggal 1 September 1945 Bendera Nasional Sang Saka Merah Putih wajib dikibarkan terus di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aksi pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Puncak gerakan pengibaran bendera di kota Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial Belanda, dan sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan 65 Surabaya.
.
Mendengar bahwa akan adanya rencana pendaratan Pasukan Sekutu di Tanjung Perak Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945, banyak dari eks orang kaya Belanda langsung lupa diri, dan mereka kemudian berpesta atas kemenangan Sekutu terhadap pasukan Kekaisaran Jepang.
Insiden Bendera Hotel Oranye.

Di Hotel Yamato, para orang kaya Belanda tersebut menyiapkan pesta untuk mengganti nama Hotel Yamato ke nama semula yaitu: Hotel Oranje. Proses penggantian nama ini kemudian diikuti oleh pengerekan Bendera Belanda di atas hotel Yamato. Karena merasa kedudukannya kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00 mengibarkan bendera Belanda yakni bendera Merah-Putih-Biru.

Pagi harinya tanggal 19 September 1945 terjadilah Insiden Bendera Hotel Oranye. Pengibaran bendera Belanda membikin perhatian banyak orang yang sedang berjalan kaki. Pemuda-pemuda yang dilapori rakyat bahwa Belanda mengibarkan bendera, mereka langsung mengasah bambu runcing, beberapa pemuda melapor ke Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) Surabaya: Sudirman. “Lha, kan sudah ada perintah dari Jakarta untuk mengibarkan bendera merah putih” , kata Sudirman sambil memegang surat perintah 1 September 1945 tentang bendera merah putih lalu membawanya ke Hotel Yamato.

Disana Sudirman dikawal Sidik dan Haryono. Sampai di depan kerumunan massa, Sudirman ditemui beberapa orang pemuda yang kalap “Kita bakar saja hotel ini” Sudirman menahan ide pemuda itu, lalu ia segera masuk ke ruang lobi Hotel. Disana Sudirman disoraki orang-orang Belanda yang sedang menyiapkan acara dansa.
“Mana Pemimpin Belanda disini..!!” kata Sudirman sambil kedua tangannya memegang pinggang. “Saya, kamu mau apa?” kata Ploegman dengan pandangan menghina. Lalu Sudirman menunjukkan surat perintah Djakarta tentang pengibaran bendera “Kamu bisa baca ini?”
Ploegman mengibaskan tangannya dan mengenai surat itu langsung terjatuh ke lantai. Sidik yang melihat kelakuan kurang ajar Ploegman langsung memegangi leher Ploegman, lalu Ploegman mengeluarkan pistol dan mengarahkan ke Sudirman. Tak lama kemudian dari belakang pistol meletus dan mengenai punggung Sidik. Sidik langsung jatuh dan mati, lalu beberapa orang Belanda mau mengeroyok Sudirman dan Haryono. Para pemuda menerobos masuk dan terjadilah perkelahian seperti di bar-bar, beberapa orang Belanda digebuki sampai mati.

Di luar Hotel, keadaan semakin memanas, beberapa orang pemuda naik ke atas dan merobek warna biru Belanda, lalu mengibarkan sisa bendera robekan itu: Merah Putih, sekejap rakyat Surabaya terdiam lalu menangis, beberapa diantara dengan semangat menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan suara gemetar. Pada Hari itu seluruh rakyat Surabaya seketika juga muncul rasa Nasionalime yang sangat tinggi. Perlu diketahui juga sifat / karakter dasar yang melekat pada pemuda-pemudi Surabaya (arek-arek suroboyo) hingga sekarang adalah BOndo NEKad.

Tanggal  21 September 1945 Doel Arnowo adakan rapat terbuka di GNI Surabaya dihadiri anggota KNID. Dr Moestopo yang sudah memanggil  mantan anggota PETA ke Surabaya bersumpah bahwa ia dan pasukannya akan mengambil alih markas sekutu. Ini adalah reaksi terhadap pembentukan markas RAPWI di Hotel Oranye yang dipimpin seorang perwira Belanda bernama P.G. de Back  pada tanggal 21 September 1945  itu.

Bahkan tanggal 23 September 1945, sebuah tim di bawah Kepala kantor Belanda Untuk Urusan Orang-orang Terlantar, D.L.Asjes, masuk ke kota Surabaya di bawah perlindungan pasukan kehormatan Jepang. Hari itu datang juga perwira Belanda  P.J.G.Huijer  yang berbicara langsung dengan Panglima AD dan Panglima AL Jepang sebagai wakil Belanda dan Inggris.

Tanggal  27 September 1945 mulai terjadi konfrontasi antara warga kampung dengan tentara Jepang. Perkelahian yang berlangsung di gerbang-gerbang masuk kampung itu selalu berakhir dengan tentara Jepang lari atau tewas terbunuh dan senjatanya diambil warga kampung.  Menurut kesaksian warga yang terlibat perkelahian dengan tentara Jepang, salah satu pemicu keberanian warga menyerang tentara Jepang karena semua sudah diberitahu para sesepuh bahwa waktu habisnya kekuasaan Jepang sudah datang (titi wanci) sesuai Ramalan Jayabaya. Selain itu, Takiyari (bambu runcing) milik mereka sudah diberi ‘asma (doa-doa) oleh para kyai.

Tanggal 29 September 1945 di dekat Pasar Blauran terjadi insiden di mana kendaraan militer yang membawa seorang  perwira Jepang menabrak dokar. Kusir dan penumpang dokar luka-luka, dalam sekejap perwira Jepang dan sopirnya itu dikeroyok massa. Untung diselamatkan PRI (Pemuda Republik Indonesia) sehingga tidak terbunuh. Tapi malam harinya patroli Jepang dicegat dan diserang rakyat/massa. Tentara Jepang lari meninggalkan truk dan senjata mereka dirampas rakyat. Menurut kesaksian, yang mengordinasi penduduk untuk menyerang  tentara Jepang adalah Pemuda Ansor yang tergabung dalam barisan Hizbullah pimpinan Kyai Achyat.

Tanggal 30 September 1945 massa dari berbagai kampung sekitar Blauran bergerak menuju ke Don Bosco, kawasan Sekolah Katholik yang menjadi barak-barak Tentara Jepang. Sambil berteriak-teriak, massa mengepung tentara Jepang yang dicekam ketegangan. Untung cepat datang Kepala Polisi Khusus M. Jasien, wakil-wakil KNID, BKR dan PRI yang menenangkan massa dengan menjadi juru runding dengan pihak Jepang. Massa tetap meminta agar Jepang menyerahkan semua senjata, pakaian, makanan, dan bahan-bahan lain kepada mereka. Akhirnya, Jepang menyerah dan memenuhi keinginan massa.

Keberhasilan Don Bosco dijadikan "rumus" oleh massa untuk melucuti Jepang. Demikianlah, pool kendaraan AD Jepang, fasilitas pemancar utama kota, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas lainnya dialihkan kepada wakil-wakil dari pemerintahan wilayah. Sepanjang tanggal 30 September 1945 selain terjadi pengepungan-pengepungan terhadap kekuatan Jepang yang berakhir dengan menyerahnya pihak Jepang, juga beredar desas-desus yang diikuti poster-poster tentang bakal diserangnya Jepang pada 1 Oktober 1945 oleh Sekutu.

Tanggal 1 Oktober 1945 wilayah Surabaya pusat dibanjiri penduduk yang membawa bendera, poster, pedang, takiyari, dan senjata api. Didukung massa yang beringas ini wakil-wakil KNID, BKR, Polisi Khusus menekan pihak Jepang untuk menyerah. Pihak Jepang yang enggan menyerah diserang.  Salah satu pihak yang menolak untuk menyerah adalah markas Kenpetai. Dalam aksi pertempuran antara massa/rakyat Surabaya dengan Kenpetai selama 36 jam. Tepat pada tanggal 2 Oktober 1945, kantor yang dikenal paling horor itu menyerah. 24 orang pemuda gugur. 40 orang Kenpetai tewas dan luka-luka serta ratusan tentara Jepang digiring ke kamp tawanan Koblen-Surabaya.
Ke-24 orang pahlawan itu dimakamkan di bekas Lapangan Canaalan pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan penghormatan militer dari polisi khusus. Seluruh rakyat Surabaya datang berduyun-duyun sambil mengibarkan bendera merah putih. Para kyai hadir membacakan doa bagi para pahlawan. Upacara pemakaman ditutup dengan teriakan-teriakan "Hidup Indonesia!" dan "Indonesia Merdeka!". Lalu tersebar kabar bahwa Kenpetai dikeluarkan dari penjara Koblen. Massa beramai-ramai ke penjara Koblen dan mendapati kerumunan massa lain sudah mengepung penjara tersebut. Saat itulah terjadi pelampiasan amarah massa yang membantai sebagian  dari tawanan-tawanan Jepang tersebut. Anggota PRI dengan susah payah memasukkan kembali tawanan-tawanan itu ke penjara.

Tanggal 6 Oktober 1945 massa dari kampung-kampung Surabaya dalam jumlah tak terhitung berkerumun di luar markas PRI di Simpang Club. Mereka marah karena PRI memasukkan kembali orang-orang Jepang ke penjara. Mereka menuntut agar tawanan Jepang dilepaskan. Tiga orang pimpinan PRI tanpa daya digiring ke penjara Koblen. Ternyata, penjara Koblen sudah penuh dengan kerumunan massa yang sedang marah-marah dengan aparat pemerintah yang kebanyakan anggota KNID seperti Sudirman, Bambang Suparto, Doel Arnowo, Angka Nitisastro, Bambang Kaslan, Dr Soewandhi, Sumarsono, Hardjadinata, dan lain-lain.

Ketika pimpinan PRI dan KNID sedang membahas langkah terbaik mengatasi kemarahan massa, sekumpulan orang menerobos penjagaan PRI yang mengamankan penjara. Di bawah todongan pedang, beberapa orang Jepang yang dikenal sebagai anggota Kenpetai diseret ke tengah kerumunan massa dan dieksekusi di bawah kemarahan. Bahkan akibat kemarahan tak terkendali, orang-orang bergantian meminum darah Kenpetai Jepang yang mereka sembelih itu. Setelah itu, kawanan pembunuh dengan membawa pedang berlumur darah menghadap para pemimpin dan meminta mereka untuk menjilat darah di pedang tersebut.

Tanggal 10-11 Oktober 1945, ketika PRI menggeledah kantor RAPWI dan perumahan Eropa tersiar kabar bahwa ditemukan banyak bukti tentang rencana serangan, perangkat radio, peta sistem komunikasi, instruksi dari pemerintah NICA di Australia, dan sejumlah besar mata uang Jepang. Padahal informasi menunjuk bahwa Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 14 Oktober 1945.

Suasana di Surabaya pun memanas. Lalu dengan alasan untuk menghindari aksi massa, tanggal 15 Oktober 1945 sekitar 3500 orang Belanda dan Indo Belanda yang sudah dilepas dari interniran Jepang,  diam-diam  oleh PRI dinaikkan truk-truk dan dibawa ke penjara Kalisosok (werfstraat) untuk ditahan serta ditempatkan di beberapa tempat yang aman. Sebagian truk yang membawa para tawanan itu dihadang massa/rakyat Surabaya di depan Simpang Club dan para tawanan dihakimi massa secara brutal.

Tanggal 15 Oktober 1945, Soetomo (Bung Tomo) memproklamasikan terbentuknya BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dengan tujuan memangkas  pengaruh PRI yang dicurigai bermain mata dengan pihak Belanda.

Tanggal 16 Oktober 1945, Radio Pemberontakan yang menyiarkan propaganda mulai mengudara. Radio Pemberontakan selain menyiarkan berita, juga menyiarkan aneka macam dorongan keberanian dan bahkan hasutan untuk melawan Belanda. Teriakan "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!" sebelum dan setelah siaran, dengan cepat menarik umat Islam Surabaya. Banyak pengamat mencatat bahwa Soetomo, yang terkenal dengan nama Bung Tomo memiliki hubungan khusus dengan tokoh-tokoh Islam. Ia bahkan diketahui mendapat  kepercayaan dan dukungan dari KH. Wachid Hasyim (anak dari Hadratus Sjaikh Hasjim As’ary).

Lahirnya Resolusi Jihad dan Pengaruhnya

KH. Abdul Wahab Hasbullah
Kabar bakal mendaratnya Pasukan Sekutu yang diboncengi tentara NICA makin keras terdengar  di tengah penduduk Surabaya, yang dicekam kemarahan menunggu kedatangan tentara Belanda yang membonceng pasukan Inggris itu. Atas dasar berbagai pertimbangan, salah satunya momentum semangat melawan masyarakat terlatih yang tak tersalurkan, membuat PBNU mengundang konsul-konsul NU di seluruh jawa dan madura agar hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.

Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH. Hasyim Asy'ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar NU; KH. Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama "Resolusi Jihad Fii Sabilillah", yang isinya sebagai berikut :

"Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)".  

Dalam tempo singkat, kota Surabaya guncang oleh kabar seruan jihad dari PBNU. Dari masjid ke masjid dan dari musholla ke musholla tersiar seruan jihad yang dengan suka-cita disambut masyarakat Surabaya. Atas dasar pertimbangan politik, Resolusi Jihad tidak disiarkan di radio. Namun dari pidato Bung Tomo tanggal 24 Oktober 1945 yang berbeda dari biasanya, terlihat jelas pesan yang disampaikan agar tidak arek-arek Surabaya jangan gampang berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat di Surabaya. Isi pidato Bung Tomo  tersebut, adalah  sebagai berikut:

"Kita ekstrimis dan rakyat sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama Kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!"
"Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"
Dengan mencermati detik-detik setelah dimaklumkannya Resolusi Jihad Fii Sabilillah oleh PBNU, terlihat sekali bagaimana rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya mengatur persiapan tersendiri dalam menyambut rencana pendaratan pasukan Sekutu di Surabaya, yang sebagian besar di luar perkiraan pemerintah RI di Jakarta.

Kantor PB Ansor, Jl. Raya Bubutan tempat Resolusi Jihad NU dibahas dan diputuskan
Rapat PBNU tgl. 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO
di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya 
yang dipimpin KH. Abdul Wahab Hasbullah 
Bahkan pada sore hari, tanggal 24 Oktober 1945, sewaktu diadakan perundingan di Modderlust antara  utusan Sekutu yang diwakili Kolonel Carwood dan pihak TKRL diwakili Oemar Said, J. Soelamet, Hermawan, dan Nizam Zachman terjadi jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak. Malam hari jam 20.00 terdengar pidato Drg Moestopo, yang mengaku sebagai Menhan RI yang tegas-tegas menolak Sekutu untuk mendarat dan menyebut Sekutu sebagai NICA. Dan pidato Drg Moestopo itu dibalas oleh pemancar radio dari kapal yang isinya;
"We don't take any order from anybody, we don't have the command of a dental surgeon!"
Tindakan Drg Moestopo yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta itu tidak bisa dicegah, termasuk setelah pemerintah mengirimkan Mr Soedarpo, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono agar bersedia membiarkan Sekutu menjalankan tugasnya. Akhirnya Drg Moestopo ditelpon langsung oleh Presiden Soekarno agar tidak menembak Sekutu.
Pendaratan Pasukan Inggris dan NICA Belanda (AFNEI)

Di Tanjung Perak Surabaya, Pasukan sekutu mendarat pada tanggal 25 Oktober 1945. Pasukan Kerajaan Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti Tentara Kekaisaran Jepang, dan membebaskan para tawanan perang yang ditahan oleh Jepang, serta memulangkan serdadu Jepang ke negerinya. Namun selain itu Pasukan Inggris juga mengemban misi untuk mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Tanggal 25 Oktober 1945, HMS Wavenley bersandar di dermaga Modderlust dan mengirim Captain MacDonald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur. Dengan siasat mengundang jamuan minum teh sambil berunding, Sekutu memanfaatkan kunjungan Drg Moestopo untuk melihat tawanan di Kalisosok dengan mendaratkan pasukan secara besar-besaran. Tindakan ini mengudang reaksi keras penduduk. Lalu diadakan perundingan antara Drg Moestopo dengan Kolonel Pugh. Hasilnya yaitu Armada Tempur Pasukan Sekutu harus berhenti pada garis batas 800 meter dari bibir pantai ke arah kota.
Aulbertin Walter Sothern Mallaby

Aulbertin Walter Sothern Mallaby yang saat itu berpangkat Mayor Jenderal dengan senang hati menerima perintah memimpin pasukan Brigade 49 yang terkenal nekat dan berhasil menghajar Jepang pada perang Burma 1944. Pangkat Mayor Jenderal pun diturunkan menjadi Brigadir Jenderal, dikarenakan pangkat seorang komandan Brigade Royal British adalah Brigadir Jendral.

Tanggal 26 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Wakil Gubernur Jawa Timur Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Surabaya Radjamin Nasution, dan Wakil Walikota Surabaya Drg Moestopo, Jenderal Mayor Muhammad dengan pihak Sekutu yang diwakili Brigjen. A.W.S. Mallaby beserta staf. Dalam perundingan, pasukan sekutu diperbolehkan menggunakan beberapa bangunan di dalam kota.


Markas Brigade ke-49 Mahratta ditempatkan di Kayoon.

Dengan persetujuan itu, Sekutu membangun pos-pos pertahanan yang menebar dari kawasan pantai hingga ke bagian tengah dan selatan kota Surabaya.

Tanggal 27 Oktober 1945 Sekutu mendaratkan lebih banyak pasukan untuk memperkuat pos-pos pertahanannya. Kira-kira jam 11.00 di atas langit Surabaya melesat pesawat Dakota yang menebarkan selebaran yang berisi perintah kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan peralatan Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada orang membawa senjata akan langsung ditembak di tempat. Tindakan Sekutu itu dijawab penduduk dengan memasang barikade-barikade di seluruh jalan kota. Lalu pertempuran pun pecah di depan Rumah Sakit Darmo yang merembet ke daerah Kayoon, Simpang, Ketabang, Jembatan Merah, dan Benteng di Ujung. Jam Malam di kota Surabaya saat itu diberlakukan oleh rakyat Surabaya, dimana aliran listrik, telepon dan air minum diputus. Jalur logistik terhenti. Kota pada malam hari gelap gulita. Dropping logistik dari udara justru jatuh ke tangan rakyat.

Mobil Buick Brigjen. A.W.S. Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan Merah Surabaya
Tanggal 28 Oktober 1945 yang merupakan hari peringatan Sumpah Pemuda ditandai dengan pertempuran sengit para pemuda-pemudi Surabaya melawan pasukan Sekutu. Menurut kesaksian para pelaku sejarah, salah satunya Brigjen Barlan Setiadijaya, pertempuran tanggal 28 Oktober 1945 itu sangat membingungkan sekutu. Sebab lawan mereka bukan tentara yang bertempur menggunakan pola operasi militer, melainkan gerakan rakyat yang fanatik dengan senjata apa saja menyerang pasukan sekutu dari kampung-kampung sekitar pos-pos pertahanan sekutu. Bahkan menurut arek-arek Surabaya seperti Luthfi Rachman, Perang Tiga Hari pada tanggal 27 - 28 -29 Oktober 1945 itu seyogyanya bukanlah perang, melainkan semacam tawuran massal karena rakyat Surabaya bertempur habis-habisan tanpa ada yang mengkomando (istilah jawa timuran : Rawe-rawe Rantas, Malang-malang Putung atau Bonek entek-entekan). Sepanjang hari, penduduk keluar dari kampung-kampung sambil meneriakkan takbir, menyerang pasukan Sekutu dari berbagai arah seperti semut mengerumuni bangkai. Tentara Sekutu yang lari menyelamatkan diri diburu dan begitu tertangkap beramai-ramai dibantai meski tentara-tentara asal India meminta ampun dan mengaku muslim, tetap saja dibunuh.
Mallaby yang saat itu menjadi saksi atas gencatan senjata memerintahkan pasukannya untuk menarik diri dari semua pertempuran. Keputusan itu ditandatangani 29 Oktober 1945.

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda.

Namun informasi gencatan senjata ternyata tidak sampai ke seluruh pasukan Inggris. Ada pasukan kecil India (Gurkha) yang membangun benteng pasir di bawah Jembatan Merah Surabaya.

Pada tanggal 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30 wib, tentara Gurkha menembaki segerombolan pemuda surabaya. Kemudian para Pemuda membalas berondongan senjata Gurkha tersebut dengan serbuan bambu runcing, naas bagi Mallaby yang dikiranya kota Surabaya sudah aman, dan juga karena merasa lapar dia berjalan-jalan malam untuk mencari restoran yang masih buka. Dengan naik mobil Buick ia bersama pengawalnya berkeliling Surabaya, di dekat jembatan merah ia malah masuk ke wilayah Republik, kemudian ada pistol menyalak ke dada Mallaby. Seketika Mallaby mati kemudian ada granat masuk ke dalam mobil Mallaby, mobil Mallaby meledak hebat. Mayatnya terpanggang di dalam. Terbakarnya mobil tersebut menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.

Perdebatan Tentang Pihak Penyebab Insiden Tewasnya Mallaby

Pada 20 Februari 1946, Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Dalam perdebatan di Gedung Parlemen Inggris (House of Commons), Tom Driberg meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata  sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi.
Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata..." Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) tewas dalam mobilnya, meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
Sampai sekarang siapa yang menembak Mallaby, siapa yang melempar granat tidak diketahui, apakah ini mainan intelijen Belanda, NEFIS atau memang sebuah aksi spontan pemuda. Namun yang jelas dari sinilah Perang Surabaya bermula.

Dalam sejarah perang Inggris selama lima tahun dengan NAZI, Pasukan Kerajaan Inggris tidak pernah kehilangan satu Jenderal pun. Akan tetapi di kota Surabaya baru lima hari mendarat seorang Jenderal terbunuh. Hal inilah yang membuat marah besar para pimpinan militer Kerajaan Inggris.
Gedung Internatio tahun 1945

Di Singapura para pimpinan militer Kerajaan Inggris berkumpul untuk membahas hal yang telah menjadi aib dalam sejarah militer mereka. Lalu dengan cepat Mountbatten (Gubernur Jendral Inggris di Singapura) menunjuk Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh sebagai Panglima Militer Tertinggi pasukan Inggris di Surabaya untuk membereskan kota Surabaya dalam waktu 3 hari, mengingat perlawanan rakyat surabaya banyak yang hanya bersenjatakan tradisional, seperti Bambu Runcing (Takiyari), Pedang Samurai, Clurit, Golok, dan lain-lain.

Di Singapura para panglima militer Inggris berkumpul. “Kita sudah kalah di Surabaya” kata salah seorang Panglima. “Pasukan kita sudah kelaparan, tidak ada lagi pasokan”, memang saat itu pasukan sekutu sudah amat kelaparan. Mereka tidak dapat pasokan logistik, sementara para pejuang Republik dapat pasokan terus menerus nasi bungkus, pisang, dan banyak bahan makanan dari rakyat yang sukarela membuatkan masakan di dapur umum. Bahkan beberapa pasukan Inggris seperti anjing kelaparan saat melihat sisa nasi bungkus bahkan yang udah basi, mereka ambil dan makan.
“Keadaan ini harus dirahasiakan”. Bagaimanapun pasukan Brigade 49 dari Divisi V adalah pasukan kebanggaan Inggris, mereka dijuluki “Fighting Cock” pada Perang Burma 1944, merekalah yang merebut satu persatu wilayah Burma dengan sistem gerilya hutan, kini Brigade itu perlahan-lahan mati kelaparan, digebukin dan ditembakin.
Lalu para Panglima itu mengutus Admiral Heifrich menemui Presiden Sukarno. Admiral Heifrich mengakui sendiri dalam buku biografinya; “Keputusan untuk menghentikan perang, satu-satunya hanya pada Presiden Sukarno”.

Apa yang dilakukan Heifrich ini bila diperhatikan sangat aneh untuk watak orang Inggris yang amat ksatria. Karena saat ultimatum, Inggris sempat menganggap Pemerintahan Republik Indonesia tidak ada, lantas setelah pasukan Brigade 49 sudah kalah dan terjepit ia merengek minta tolong pada Presiden Sukarno.

Disinilah kesalahan Presiden Sukarno paling fatal, ia masih termakan halusinasi bahwa sekutu adalah pihak yang menang perang dan merupakan alat yang baik untuk berdiplomasi dengan Belanda. Presiden Sukarno tidak paham kekuatan bangsa sendiri, ia tidak langsung melihat pertempuran, jalan diplomatiknya yang dipilih merupakan blunder besar dalam perang Kemerdekaan 1945-1949.

Apakah yang terjadi bila Presiden Sukarno mengetahui kebohongan Inggris, mulai dari Nota Chequers 24 Agustus 1945 sampai pada rahasia pasukan Brigade 49 yang kocar-kacir. Presiden Sukarno pada saat itu berada pada persimpangan politik yang amat tragis. Di satu sisi hanya dia-lah yang dipercaya rakyatnya, di sisi lain dia tidak mau perang dengan sekutu, karena nama Sukarno sudah tercatat sebagai kolaborator. Bila Sukarno diambil pihak sekutu, Sukarno kuatir Indonesia akan kehilangan pemimpin.

Kesalahan besar Presiden Sukarno yang menghentikan perang ini juga sama fatalnya dengan perintah Presiden Sukarno agar melarang pasukan KKO pimpinan Mayjen Hartono masuk ke Ibukota Djakarta di tahun 1966 untuk memberikan pelajaran bagi Suharto. Presiden Sukarno memang pribadi yang menarik tapi ketika ia harus masuk ke dalam situasi perang nampaknya ia lebih memilih untuk menghindar.

Padahal perang Surabaya adalah sebuah drama besar yang bisa dijadikan landasan untuk merdeka sepenuhnya, Perang Surabaya juga dikabarkan lewat radio-radio dan didengarkan oleh para pejuang di banyak negara terjajah seperti Vietnam dan Burma, dari perang inilah kemudian membangkitkan semangat mereka melawan Kolonialisme.

Pertempuran baru berhenti setelah tanggal 30 Oktober 1945 Bung Karno dan Bung Hatta datang ke Surabaya untuk meredam pertempuran. Presiden Sukarno langsung berangkat ke Surabaya, ditengah tembakan mendesing Sukarno menemui beberapa pemuda dan memerintahkan untuk menghentikan tembakan “Musuh kita bukan sekutu, mereka hanya membebaskan tawanan perang..” kata Presiden Sukarno. Para pemuda menuruti apa kata Presiden Sukarno.  Lalu gencatan senjata terjadi.
Barulah pada akhir Oktober 1945 terjadi perang besar.

Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh yang jago perang dunia itu langsung untuk mengeluarkan Ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Ultimatum 10 November 1945 menyebutkan bahwa semua tokoh-tokoh pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang telah ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas kepala. Batas ultimatum itu adalah jam 06.00 wib tanggal 10 November 1945.

Ancaman Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh akan Ultimatum tersebut; Jika Ultimatum ini tidak dihiraukan, maka Surabaya akan di bombardir habis-habisan dari laut, udara dan darat oleh pasukan sekutu.

Jam 18.00, seluruh elemen TKR dan pemuda menandatangani “Soempah Kebulatan Tekad” yang isinya,
Bismillah Hirochmanirrachim
SOEMPAH KEBOELATAN TEKAD
Tetap Merdeka !
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia dilaporkan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab, ikhlas berkorban dengan tekad MERDEKA atau MATI !!!
Sekali merdeka tetap merdeka !
Soerabaja, 9 November 1945
Ttd
(1)   TKR Kota
(2)   PRI
(3)   BPRI
(4)   TKR Sidoardjo
(5)   BBI
(6)   TKR Laut
(7)   TKR Peladjar
(8)   P.I.
(9)   BBM (Barisan Berani Mati)
(10) TKR Modjokerto
(11)  TKR Djombang
(12) dll
Dan setelah melakukan diskusi yang cukup panjang dengan seluruh elemen yang ada di Surabaya, pada jam 23.00 malam Gubernur Jawa Timur Soerjo, mengumumkan melalui radio keputusannya bahwa Surabaya akan melawan sampai titik darah penghabisan.

“Hak apa orang Inggris memerintahkan orang Surabaya sebuah bagian dari negara berdaulat” teriak Bung Tomo sambil menggebrak meja setelah mendapatkan laporan bahwa ada ultimatum bahwa orang Surabaya harus menyerahkan senjata sampai tanggal 10 November 1945. “Wah perang ini”  kata Bung Tomo di depan banyak temannya.
Beberapa jam kemudian Bung Tomo memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan mobil lalu pergi ke Tebu Ireng, Jombang. Disana ia berjumpa dengan Hadratus Sjaikh Hasjim Ash’ary (kakek Gus Dur) untuk meminta nasehat & wejangan. “Perang ini akan jadi perang sahid, perang suci karena membela tanah air, tapi sebelum saya putuskan menyerang sekutu kamu sebaiknya kamu dzikir dulu, saya menunggu seorang Kyai dari Cirebon (Kyai Abbas Buntet)”, kata Hadratus Sjaikh KH. Hasjim As’ary.
Berikut sekelumit kisah KH. Abbas Buntet : (Pengakuan Abdul Wachid Salah Satu Pengawal Kiai Abbas Buntet Waktu Perang 10 November 1945 di Surabaya) oleh : Drs.Munib Rowandi Amsal Hadi. Bagaimana perjalanan KH. Abbas Buntet ke kota Surabaya? Berikut ini penuturan Abdul Wachid, satu-satunya pengawal KH. Abbas yang memberikan kesaksian secara tertulis melalui KH. Samsu pada tahun 1998 ;
Pada hari itu, kalau tidak salah, tanggal 6 November 1945 saya dengan tiga orang yaitu Usman, Abdullah dan Sya'rani mendapat tugas dari Detasemen Hizbullah Resimen XII/SGD untuk mengawal KH. Abbas ke front Surabaya.
Pada jam 06.30 pagi rombongan kami, dengan diiringi pasukan Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon. Rombongan kami, selain tiga pengawal serta KH. Abbas, juga ikut KH. Achmad Tamin dari Losari sebagai pendamping Kyai Abbas. Selanjutnya kami naik Kereta Api Express.
Pada waktu itu, Kyai Abbas mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban dan beralas kaki trumpah (sandal japit kulit). Kyai Abbas menyerahkan sebuah kantong pada saya. Setelah saya raba-raba, ternyata isinya Bakiak. Saya sempat heran bahkan tertawa sendiri, untuk apa Bakiak ini? Bukankah Kyai sudah memakai trumpah? Atau senjata perang? Masa senjata kok Bakiak?
Pada sekitar jam 17.00, kereta api yang kami tumpangi telah masuk di Stasiun Rembang Jawa Tengah. Ternyata sudah banyak orang yang menunggu. Lalu kami diantar ke Pondok Pesantren KH. Bisri (Ayahanda KH. Mustofa Bisri-Rembang) di Rembang.
Pada malam harinya, ba’da shalat isya, para ulama yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 15 orang, mengadakan musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran di Surabaya. Hasil musyawarah memutuskan bahwa komando pertempuran dipercayakan kepada Kyai Abbas.
Ba’da shalat shubuh, pondok pesantren Rembang sudah ramai. Para santri sudah siap berangkat ke Surabaya, dan banyak pula yang berseragam Hizbullah. Di halaman masjid sudah ada dua mobil sedan kuno yang berkapasitas empat orang penumpang. Kyai Abbas memanggil saya dan rekan-rekan pengawal dari Cirebon. Beliau meminta bingkisan (Bakiak) yang dititipkannya pada saya. Beliau juga menyuruh kepada kami, pengawal dari Cirebon, untuk tidak ke mana-mana sampai beliau kembali dari Surabaya.
Setelah itu, KH. Abbas naik salah satu mobil dengan KH. Bisri di jok belakang sementara KH. Achmad Tamin duduk di depan dengan sopir. Sedang sedan yang satunya lagi berpenumpang empat orang kyai yang saya sendiri tidak tahu namanya. Dengan diiringi pekik takbir “ALLAHU AKBAR!!!”, dan pekik MERDEKA !!! yang saling bersahutan, rombongan kiai itu perlahan-lahan bergerak meninggalkan pondok pesantren Rembang.
Sudah hampir sepekan kami berada di Pondok Pesantren Rembang. Tiada kabar berita apa-apa. Ini membuat kami gelisah. Ingin rasanya menyusul ke Surabaya kalau saja tidak ada pesan dari Kyai untuk tidak boleh ke mana-mana.
Baru pada tanggal 13 November 1945, ada beberapa Laskar Hizbullah (santri pondok pesantren Rembang) yang datang. Kedatangannya disambut oleh santri-santri termasuk kami dan langsung diberondong pertanyaan-pertanyaan tentang situasi peperangan di Kota Surabaya.
Menurut cerita santri Rembang yang baru datang tersebut, begitu rombongan para kyai datang, langsung disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Lalu para kyai tersebut masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah. kemudian Kiai dari Cirebon (Kiai Abbas-red) memerintahkan kepada pendamping beliau (KH. Achmad Tamin) untuk berdoa di tepi kolam masjid. Dan kepada KH. Bisri dari Rembang beliau (KH. Abbas) memohon agar memerintahkan para laskar / pemuda-pemuda yang akan berjuang untuk mengambil air wudlu dan meminum air yang telah diberi doa. Segera saja para laskar / pemuda-pemuda itu berebutan, bahkan ada yang merasa kurang dengan hanya berwudlu dan menerjunkan diri masuk ke dalam kolam.
Kemudian, bagaikan lebah keluar dari sarangnya, pemuda-pemuda dari segala lapisan Badan Perjuangan AREK-AREK SUROBOYO menyerbu Belanda dengan diringi takbir dan pekik merdeka yang bergemuruh di seluruh penjuru kota Surabaya yang didisambut dengan rentetan tembakan gencar dari serdadu Belanda. Korban dari kedua belah pihak pun tak terelakkan berjatuhan, terutama dari pihak kita yang hanya bersenjata bambu runcing, pentungan atau golok seadanya yang disongsong dengan semburan peluru dari berbagai senjata otomatis modern. Sungguh tragis dan mengerikan.
“Kami dengan para kiai berda di tempat yang agak tinggi, jadi jelas sekali dapat melihat keadaan di bawah sana”, jelas santri Rembang yang ternyata pengawal Kiai Bisri Rembang. Saat itu, lanjut cerita santri Rembang, Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) mengenakan alas kaki bakiak berdiri tegak di halaman masjid. Kemudian beliau membaca doa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit. Kiranya doa beliau terkabulkan. Saya melihat dengan mata kepala sendiri keajaiban yang luiar biasa. Beribu-ribu alu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu – serdadu Belanda. Suaranya bergemuruh bagaikan air bah sehingga Belanda kewalahan dan merekapun mundur ke kapal induk mereka.
Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat Bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara sebelum bereaksi. Kemudian beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi yang maksudnya akan akan menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya, namun beberapa pesawat itupun mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum bereaksi. “disitulah kehebatan Kiai Cirebon (Kiai Abbas-Red) yang dapat saya saksikan sendiri”, tandas santri Rembang meyakinkan para santri.
Keesokan harinya, lanjut cerita santri Rembang, pihak musuhpun datang lagi berbondong-bondong berupa kompi tang-tang / mobil baja dan truk-truk menyerang kubu-kubu pertahanan tentara / laskar kita yang didiringi oleh dentuman kanon dan mortir serta rentetan tembakan tembakan 12,7 dari pesawat udara yang cukup banyak jumlahnya sehingga tentara dan laskar kita banyak yang gugur dan terpaksa mundur di pinggir kota Surabaya.
Menjelang malam hari tiba, pertempuran baru agak mereda. Hanya beberapa tembakan kecil saja yang masih terdengar di sana sini. Kemudian kami diperintah pulang oleh Pak Kiai (Kiai Bisri-red) untuk menyampaikan berita keadaan di front Surabaya kepada keluarga dan warga Pondok Pesantren bahwa pak kiai dan para alim ulama lainnya dalam keadaan selamat sehat wal afia, dan dianjurkan kepada semua warga pondok dan masyarakat Rembang untuk berdoa memohon kepada Allah SWT atas perlindungan, keselamatan dan kemenangan bagi para pejuang kita yang dalam pertempuran melawan dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.
Tiga hari kemudian, menjelang pagi, Kiai Abbas dengan pendampingnya Kiai H. Achmad Tamin dan Kiai Bisri Rembang serta beberapa kiai lainnya datang. Kami tidak banyak memperoleh informasi dari beliau-beliau tentang kejadian Surabaya. Setelah subuh, kami para pengawal dari Cirebon diperintahkan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke Cirebon.
Dengan menumpang Kereta Api Express jam 06.00 pagi, kami bertolak meninggalkan Rembang dan tiba di Cirebon dengan selamat pada jam 17.30 pagi. sepanjang perjalanan dari Rembang ke Cirebon, tidak banyak yang kami bicarakan, karena Kiai Abbas dalam kelelahan dan kantuk yang amat sangat karena selama di Surabaya beliau kurang istirahat dan kurang tidur.

Seruan Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh para ulama, akhirnya benar-benar membakar semangat pertempuran surabaya. Dan mempermalukan pasukan sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan Laskar Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur.

Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahiddin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Para kyai dan santri berbaur dengan pasukan reguler melawan pasukan pemenang Perang Dunia II. Dari Markas Jombang pertempuran Surabaya dikendalikan.

Mendapat jaminan dan restu dari tokoh ulama Hadratus Sjaikh Hasjim As’ary, Bung Tomo kembali langsung ke Surabaya dan meneriakkan di corong “Radio Pemberontak”
…Saudara-saudara Allahu Akbar!!… Semboyan kita tetap: MERDEKA ATAU MATI.
Dan kita yakin, saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
percayalah saudara-saudara,
Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar…!! Allahu Akbar…! Allahu Akbar…!!!
MERDEKA!!!
Mendengar pidato Bung Tomo, orang Surabaya paham itu isyarat perang. Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh juga ambil kesimpulan bakal ada perang beneran.

Dari Radio hampir seluruh rakyat Indonesia menunggu laporan-laporan dari perkembangan perang, mereka menunggu pidato Bung Tomo. Semua mendekatkan telinga mereka di radio. Pada hari itu juga banyak dari orang-orang Indonesia di tempat lainnya menyiapkan diri untuk perang ke Surabaya. Sekitar 20.000 orang Bali sudah siap masuk ke Surabaya, beberapa bisa menyusup dan langsung menggempur sekutu. Dari Aceh sudah disiapkan ribuan orang pengiriman, di Medan ribuan orang berkumpul untuk bersiap diberangkatkan ke Surabaya, di Lombok Mataram di depan para Ulama, rakyat Lombok siap mati dan akan berangkat ke Surabaya. Di Yogyakarta sudah mulai ada pengiriman pasukan, Malang sudah kirim pasukan. Sementara di Djakarta masih menunggu perkembangan berita, penggede-penggede Djakarta masih berharap perang bisa diselesaikan dengan cepat.

Pasukan sekutu mulai stress, karena logistik tidak ada, bantuan tempur logistik yang diterjunkan dari pesawat kemakan orang-orang Republik, bahkan nyaris tidak ada logistik yang berhasil didapatkan pasukan Inggris. Mereka sudah terkunci dan terkepung oleh seluruh orang Indonesia yang mengitari mereka, keberadaan pasukan Inggris dari Brigade 49 tinggal menghitung waktu.

Tempat-tempat dimana pos pasukan Inggris berada di blokade total, tak ada listrik, tak ada makanan, mereka harus berjaga 24 jam agar jangan sampai ditembaki Republik yang terus menerus enggan untuk berhenti. Di hari kelima pertempuran mulai jarang tembakan dari pasukan sekutu, pasukan Inggris mulai kehabisan amunisi, beberapa orang Surabaya nekat masuk ke pos-pos Inggris dan meledakkan granat, inilah yang mereka takutkan. Dalam kondisi rusak mental inilah, pasukan Brigade 49 mulai teriak-teriak ke markas mereka di Djakarta bahwa mereka sudah terdesak.

Rahasia kekalahan Inggris ini disimpan rapi-rapi, jangan sampai Penggede Republik Indonesia tahu, mereka berlagak ja’im dan masih mencitrakan diri sebagai pemenang perang di Surabaya. Begitu juga dengan pemimpin di Jakarta yang tidak begitu mengetahui perkembangan perang di Surabaya, mereka sudah ‘underestimate’ bahwa perang akan dimenangkan oleh Inggris.

Pertempuran Surabaya
Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia
Pertempuran Surabaya
Tentara India Britania menembaki penembak runduk Indonesia di balik tank Indonesia yang terguling dalam pertempuran di Surabaya, November 1945.
Tanggal27 Oktober - 20 November, 1945
LokasiSurabaya, Jawa Timur, Indonesia
HasilInggris menguasai Surabaya
Pihak yang terlibat
 Indonesia Britania Raya
 Belanda
Komandan
Bung TomoBrigjen A. W. S. Mallaby †
Mayjen Robert Mansergh
Kekuatan
20,000 tentara
100,000 sukarelawan[1]
30,000 (puncak)[1]
didukung tank, pesawat tempur, dan kapal perang
Korban
6,000[2] - 16,000[1] tewas600[3] - 2,000[1] tewas

Akhirnya tanggal 10 November tiba, sirene pagi berbunyi keras dan tak satupun rakyat Surabaya yang datang ke pos militer sekutu untuk menyerahkan senjata.

Para pemuda membangun benteng-benteng pasir, menjalin kawat berduri, bersembunyi di jendela-jendela toko sudah perseneleng siap tempur.

Surat Kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 Ponders, 37 Howitser, HMS Sussex dibantu 4 Kapal Perang Destroyer, 12 Pesawat Tempur jenis Mosquito, 15.000 personel dari divisi 5 dan 6000 personel dari brigade 49 The Fighting Cock. "David Welch menggambarkan pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of Indonesia (hal. 66)".
Pagi hari Gubernur Jawa Timur Soerjo mendatangi beberapa tokoh pemuda. Gubernur Soerjo bilang “ini sudah keterlaluan Inggris, sudah tidak menganggap Pemerintahan Djakarta itu ada, tidak ada Republik Indonesia” lalu Gubernur Soerjo dengan blangkonnya berpidato “kita tidak mau dijajah kembali, Merdeka….!!”

Jam 06.00 pagi dari arah pelabuhan di Surabaya Utara, kanon-kanon kapal perang Inggris sudah mengarah ke kota.

Tembakan pertama meletus jam 06.10 dari sebuah kapal kemudian meletus lagi dari semua kapal berikutnya seluruh wilayah kota yang dekat dengan pelabuhan jadi korbannya.

Wilayah Surabaya Utara dihuni oleh banyak orang-orang Cina, Arab, India dan beberapa pedagang dari Bugis. Rata-rata dari mereka adalah pedagang. Rumah-rumah mereka hancur dengan tanah, tembakan kanon terus menerus menghancurkan Pasar Turi, Kramat Gantung dan Pasar Besar. Beberapa tempat sudah tak berbekas.

Jam 07.00 pagi pasukan Inggris mulai masuk ke Surabaya.

Mereka masuk ke kampung-kampung dan menembaki rakyat dengan membabi buta, ada orang tembak, ada pemuda tembak mati.

Sekutu menendangi rumah penduduk dan mencari senjata, bila ada yang melawan tembak mati.
Rakyat Surabaya masih belum melawan, mereka masih siaga di posisinya masing-masing, belum ada perintah tembak dari Djakarta. Para penggede militer TKR di Djakarta dilapori situasi Surabaya terutama penembakan kanon di sekitar wilayah Surabaya Utara.
Menteri Penerangan Republik Indonesia Amir Sjarifuddin yang saat itu langsung memerintahkan “Lawan…!!”. Lalu datanglah perintah dari Djakarta agar rakyat Surabaya melawan.
Jam 09.15 pagi milisi/laskar Surabaya sudah dapat kabar bahwa Jakarta menyetujui perang, lalu tembakan pertama kali terjadi di Pasar Turi dari pihak Republik. Di batas-batas kota rakyat mulai berdatangan memasuki kota, ratusan ribu orang memasuki kota Surabaya mempertahankan kedaulatan bangsanya yang sedang dihina oleh kaum kapitalis Inggris dan Belanda.

Pasukan resmi tentara (BKR dan TKR) juga mulai mengoordinasi, semuanya ikut dalam barisan laskar, pertahanan Republik langsung dibangun dari arah barat ke Timur, wilayah Asem Jajar dijadikan wilayah perang pertama antara sekutu dan Republik. Di wilayah ini pasukan sekutu berhasil dipukul mundur, beberapa dari mereka tewas ketika pasukan bambu runcing nekat maju dan masuk ke lobang pasir dimana mitraliyur ditaruh. Di selatan Pasar Turi pasukan Inggris menerobos masuk tapi ditembaki dari gedung-gedung oleh pasukan rakyat.

Jam 10.12 pagi di langit-langit kota Surabaya terdengar suara pesawat menderu-deru kencang. Rupanya Inggris mengerahkan pasukan Royal Air Force (RAF) langsung dari pangkalan militernya di Burma. Pasukan RAF yang dikerahkan ini adalah veteran-veteran perang dari Perang Dunia II yang mengebom Berlin.

Tapi sekarang bukan Berlin yang dibom tapi Kota Surabaya, mereka mengebom kantor-kantor pemerintahan, gedung-gedung sekolah. Bila tahun 1940 Inggris dibombardir Jerman, maka Inggris mengulangi kejahatan yang sama seperti NAZI Jerman dengan memborbardir kota Surabaya, banyak orang tertembak mati kena reruntuhan gedung, dan orang yang tertembak mitraliyur pesawat, Inggris seperti pasukan gila yang mengamuk habis-habisan.

Tapi Inggris belum kenal watak orang Surabaya yang gampang panas alias BONEK. Laskar rakyat Surabaya kemudian mengambil beberapa mitraliyur anti pesawat buatan Jepang dan menembaki skuadron pasukan RAF. Dua pesawat kena tembak salah satunya adalah seorang jenderal yang bernama Brigjen Robert Guy Loder Symonds seorang komandan pasukan Artileri yang sedang melakukan survey udara. Jenderal ini kemudian dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Kramat Pulo, Menteng.

Pertempuran makin meluas hingga mengarah ke Kali Mas.

Di pinggir Kali Mas pasukan sekutu langsung menggempur pasukan rakyat. Jam 12.00 siang hari pasukan infanteri Royal British mulai mendaratkan pasukan sekitar 20.000 orang, inilah pasukan terbesar Inggris setelah perang dunia selesai, dan merupakan perang paling brutal sepanjang sejarah pertempuran militer pasukan Kerajaan Inggris.


Di wilayah lain di luar Surabaya, Jenderal Sudirman dan para staf-nya memutuskan untuk memotong rantai logistik sekutu. Jadi 20 ribu pasukan infanteri bakalan terlokalisir dan digebuki rakyat Surabaya.

Taktik ini berhasil, laskar-laskar rakyat di Jawa Barat menghadang pasukan logistik sekutu yang mau masuk dari arah barat, di Malang gudang logistik pasukan sekutu dihancurkan, otomatis selama 5 hari pasukan sekutu terkunci dari semua pintu masuk kota, sementara ribuan orang Indonesia terus mengalir memasuki kota dengan senjata apa adanya berperang melawan sekutu.


Perang Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu, di minggu pertama dimenangkan oleh pihak Republik, tapi karena keputusan Presiden Sukarno yang memerintahkan penghentian perang, sehingga Jenderal Sudirman membuka blokade lalu pasukan Divisi V yang awalnya sudah diputuskan tidak akan masuk Surabaya karena takut dihabisi, jadi masuk. Logistik yang tadinya terputus mengalir kembali.
Dan kemudian Inggris mampu menghajar pasukan Republik. Lalu nggak berapa lama Inggris menguasai kota Surabaya, karena sudah dapat suplai logistik dari Jakarta.

Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.

Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Abbas Buntet, serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur.

Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Pada akhir bulan November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu. Para pejuang Indonesia yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan kota Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari kota Mojokerto di Barat hingga ke arah kota Sidoarjo di Timur.

Setidaknya 6,000-16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600-2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.

Pelajaran dari sejarah ini adalah ketika kita sudah pada situasi perang, janganlah kita hentikan dengan diplomasi, janganlah kita memberikan tempat dan peluang pada lawan. Kita harus percaya atas kemampuan diri sendiri. Di kota Surabaya 1945 menjadi pengetahuan bagi kita semua bahwa kita adalah Bangsa yang Bernyali Besar dan Berdaulat. Dikemudian hari peristiwa heroik tanggal 10 November 1945 ini setiap tahun dikenang sebagai Hari Pahlawan  hingga sekarang.



Dikutip dari berbagai sumber, a.l :

  • http://www.id.wikipedia.org/
  • http://www.sarkub.com/
  • http://www.umum.kompasiana.com/
  • http://www.hkarmayoga1886.wordpress.com/
  • http://www.pesantrenbudaya.com/





2 komentar:

  1. KINI WWW.BENUAPOKER.COM TELAH HADIR DENGAN MEGA JACKPOT BARU DAN MENANGKAN PULUHAN JUTA DENGAN MUDAH,....

    BalasHapus
  2. Izinkanlah saya menulis / menebar sejumlah doa, semoga Allaah SWT mengabulkan. Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘alamiin.

    Lebih dan kurang saya mohon maaf.

    Asyhaduu anlaa ilaaha illallaah wa asyhaduu anna muhammadarrasuulullaah

    A’uudzubillaahiminasysyaithaanirrajiim

    Bismillahirrahmaanirrahiim

    Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin,
    Arrahmaanirrahiim
    Maaliki yaumiddiin,
    Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin,
    Ihdinashirratal mustaqiim,
    Shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi ‘alaihim waladhaaliin

    Aamiin

    Bismillaahirrahmaanirrahiim

    Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin, hamdan yuwaafi ni’amahu, wa yukafi mazidahu, ya rabbana lakal hamdu. Kama yanbaghi lii jalaali wajhika, wa ‘azhiimi sulthaanika.

    Allaahumma shalli wa sallim wa baarik, ‘alaa Sayyidinaa wa Nabiyyinaa wa Maulaanaa wa Maulaanaa Muhammadin wa ikhwaanihii minal anbiyaa-i wal mursaliin, wa azwaajihim wa aalihim wa dzurriyyaatihim wa ash-haabihim wa ummatihim ajma’iin.

    ALLAAHUMMAFTAHLII HIKMATAKA WANSYUR ‘ALAYYA MIN KHAZAA INI RAHMATIKA YAA ARHAMAR-RAAHIMIIN.

    RABBI INNII LIMAA ANZALTA ILAYYA MIN KHAIRIN FAQIIR.

    RABBI LAA TADZARNI FARDAN WA ANTA KHAIRUL WAARITSIN.

    Rabbana hablana min azwaajina, wa dzurriyyatina qurrata a’yuniw, waj’alna lil muttaqiina imaamaa.

    Allaahummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa

    Ya Allaah, terimalah amal saleh kami, ampunilah amal salah kami, mudahkanlah urusan kami, lindungilah kepentingan kami, ridhailah kegiatan kami, angkatlah derajat kami dan hilangkanlah masalah kami.

    Ya Allaah, percepatlah kebangkitan INDONESIA. Pulihkanlah kejayaan INDONESIA, Lindungilah INDONESIA dari bencana.

    Ya Allaah, jadikanlah INDONESIA baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.

    Allaahumma innaa nas’aluka salaamatan fiddiini waddun-yaa wal akhirati wa ’aafiyatan fil jasadi wa ziyaadatan fil ‘ilmi wabarakatan firrizqi wa taubatan qablal mauti, wa rahmatan ‘indal mauti, wa maghfiratan ba’dal maut. Allahuma hawwin ‘alainaa fii sakaraatil mauti, wannajaata minannaari wal ‘afwa ‘indal hisaab.

    Allaahumma inna nas aluka husnul khaatimah wa na’uudzubika min suu ul khaatimah.

    Allaahuma inna nas’aluka ridhaka waljannata wana’uudzubika min shakhkhatika wannaar.

    Allaahummadfa’ ‘annal balaa-a walwabaa-a walfahsyaa-a wasy-syadaa-ida walmihana maa zhahara minhaa wamaa bathana min baladinaa haadzaa khaash-shataw wamin buldaanil muslimuuna ‘aammah.

    Allaahumma ahlikil kafarata walmubtadi-‘ata walmusyrikuun, a’daa-aka a’daa-ad diin.

    Allaahumma syatttit syamlahum wa faariq jam-‘ahum, wazalzil aqdaamahum.

    ——(doa khusus untuk SELURUH RAKYAT INDONESIA YANG MENJADI KORBAN IMPERIALIS / KOLONIALIS 1511 – 1962 , semoga Allaah selalu mencurahkan kasih sayang kepada mereka).

    ALLAAHUMMAGHFIRLAHUM WARHAMHUM WA’AAFIHIM WA’FU ‘ANHUM
    ALLAAHUMMA LAA TAHRIMNAA AJRAHUM WA LAA TAFTINNAA BA’DAHUM WAGHFIRLANAA WALAHUM
    ———————

    Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw wa qinaa ‘adzaabannaar wa adkhilnal jannata ma’al abraar.

    Rabbanaa taqabbal minna innaka antassamii’ul aliimu wa tub’alainaa innaka antattawwaaburrahiim. Washshalallaahu ‘alaa sayyidinaa wa nabiyyinaa wa maulaanaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa ummatihi wa baraka wassallam.

    HASBUNALLAAH WANI’MAL WAKIIL NI’MAL MAULA WANI’MAN NASHIIR.

    Subhana rabbika rabbil ‘izzati, ‘amma yasifuuna wa salamun ‘alal anbiyaa-i wal
    mursaliin, walhamdulillahirabbil ‘aalamiin.

    Aamiin yaa Allaah yaa rabbal ‘aalamiin.


    Indra Ganie – Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten

    BalasHapus