Selasa, 13 November 2012

Islam Tradisional Indonesia

Peradaban modern telah berhasil membuktikan eksistensi manusia sebagai makhluk lebih unggul ketimbang makhluk manapun di bumi ini. Namun berbagai kemajuan tersebut yang dicapai ternyata tidak cukup untuk lebih memposisikan manusia sebagai manusia. Manusia malahan seperti kehilangan identitas kemanusiaannya dan yang terjadi kini nilai-nilai manusia sudah dalam posisi yang sudah sangat “menyedihkan” karena kini manusia bisa diatur oleh seperangkat peralatan mekanik yang diciptakannya sendiri.




Peradaban modern juga semakin menggelapkan hati manusia dan semakin menempatkan posisi manusia dalam kemajuan semu belaka. Apa yang telah menjadi keberhasilan manusia modern tidak lantas kemudian semakin mendekatkan manusia pada Tuhan yang secara hakikat ada dibelakang segala keberhasilan umat manusia, kemajuan peradaban modern justru telah menggiring manusia pada kesombongan. Dan puncak dari kesombongan itu adalah sebuah pengakuan bahwa manusialah yang telah menjadikan segala keberhasilan yang selama ini dicapai, sementara Tuhan tidak memiliki andil apapun. Malahan banyak diantara mereka yang kemudian karena kesombongan dan karena tertipu paham rasionalisme dan materialisme berkesimpulan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang absurd.

Peradaban barat telah menimbulkan multi krisis, baik krisis moral, spiritual, dan krisis kebudayaan yang dimungkinkan lebih disebabkan corak peradaban modern industrial yang dipercepat oleh globalisasi yang merupakan rangkaian dari kemajuan barat pasca renaisans yang membawa nilai-nilai antroposentrisme dan humanisme sekuler. Paham yang serba mendewakan manusia dan kehidupan dunia yang sifatnya temporal. Hal ini secara faktual telah melahirkan tercerabutnya kebermaknaan dalam hidup manusia, akibat hilangnya nilai-nilai transendental agama dari kehidupan manusia. Pada antroposentrisme dan humanisme sekuler yang mendewakan kedigdayaan manusia, dan relatifitas itu akhirnya telah melahirkan krisis kemanusiaan yang sudah semakin mengkhawatirkan dalam kehidupan peradaban manusia sedunia. Manusia yang sebelumnya diposisikan sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dan paling tinggi derajatnya menjadi subordinasi dalam teknostruktur, menjadi bagian dari benda-benda (hasil teknologi) yang diciptakannya sendiri, sehingga manusia teralienasi dari identitasnya sebagai makhluk Tuhan yang merdeka dan memiliki fitrah hati nurani.

Suatu hal yang tentu sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang dalam hatinya memiliki potensi Ilahiyah, dan pasti akan selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden yaitu Tuhan. Hal ini mengingatkan kita pada penegasan Al-Qur’an dalam surat Thaha ayat 124:


Barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya kehidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. 
Sebagai manusia yang telah dibimbing oleh agama, kita tidak seharusnya mencontoh apa yang menjadi sisi negatif dari medernisasi di dunia barat, meskipun peranan modern itu lahir dari sebuah keunggulan metodologi sains. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengusahakan agar bagaimana iman, ilmu, dan teknologi senantiasa selalu berjalan beriringan. Yang menjadi tugas kita sekarang adalah bagaimana agar kita dapat mengangkat kembali dan mengembalikan posisi kemanusiaan dalam tempat semula yang lebih baik. Seperti yang telah dikatakan Yusuf Qardhawi, manusia barat telah membuka tabir pengetahuan yang cukup banyak. Tetapi mereka tidak mampu menguak misteri dibalik wujudnya. Mereka telah mengetahui pengetahuan fisik, tetapi tidak dapat menundukan nafsunya. Mereka telah mendapatkan nuklir, tetapi gagal mendapatkan ideologi dan spiritnya. Sangat indah apa yang telah dikatakan filosof India ditunjukan kepada salah seorang pemikir Barat, “Sudah cukup baik, kalian terbang tinggi di udara bagai burung. Kalian telah menyelam ke dasar laut seperti ikan. Namun kalian sama sekali tidak berjalan baik di muka bumi ini seperti layaknya manusia". 

Mungkin inilah yang bisa kita sebut sebagai krisis identitas. Manusia bukan hanya sebatas makhluk yang mengandalkan kemampuan indera dan akal, tetapi lebih dari itu ia adalah makhluk Tuhan yang mengemban amanat dari Tuhannya untuk menjadi pemimpin dan pengelola segala potensi yang ada di dunia ini, untuk kemudian dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.

Manusia modern harus kembali diingatkan dan diarahkan kepada kesucian, Tuhan yang merupakan asal dan sekaligus pusat dari segala sesuatu dan kepadanyalah manusia kembali. Tentulah sudah merupakan suatu konsekuensi apabila manusia harus mengabdi pada Tuhan. Hanya tradisi yang dapat membebaskan mereka, bukan agama-agama palsu yang pada saat ini sedang bermunculan.

Sebagian orang Barat sebenarnya telah menyadari bahwa ada penyakit dalam peradaban mereka yang padahal sudah sangat modern. Mereka melihat bahwa peradabannya telah menghanguskan fitrah manusia, menghadang ketentraman jiwa, dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kenapa tradisionalis-tradisionalis bersikeras untuk mengukuhkan pertentangan antara tradisi dan modernisme? Itu tidak lain karena sifat modernisme itu sendiri telah menimbulkan citra yang sama di bidang religius dan metafisika yaitu menampakan yang setengah-benar sebagai kebenaran. Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia tradisional.

Islam Tradisional menerima Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya: sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan, yang tak-tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga menerima komentar-komentar tradisional atas Al-Qur’an yang berkisar dari komentar-komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan metafisikal.


Namun sebelum kita membahas lebih mendalam bahasan ini, alangkah baiknya apabila kita terlebih dahulu mengetahui apa arti dari tradisi. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya ; bisa pula disebut As-Sunnah, yaitu apa yang sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan As-Silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran didunia tradisional kepada sumber, seperti tampak gamblang dalam sufisme. Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen agama melalui penafsiran terhadap kitab suci agama secara rigiddan literalis.

Secara etimologi, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan. Menurut Achmad Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan dengan ekspresi islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran serta praktek islam. Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi. Lawannya adalah modernisme, radikalisme, dan fundamentalisme. Dengan demikian tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudah dipraktekkan oleh komunitas agama.
Karenanya tradisi mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu didalam sifat illahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Di jantung pohon tradisi itu berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan berkesinambungan prinsip-prinsp yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.
Islam tradisional tumbuh berkembang dalam nafas kehidupan masyarakat nusantara. Sehingga Islam tradisional salah satu perpaduan dalam mensinergikan antara teks dan konteks dalam agama Islam, agar Islam dapat berjalan beriringan dengan adat istiadat masyarakat. Mengingat budaya masyarakat pribumi begitu kompleks dalam kehidupan masyarakat nusantara. Berangkat dari sinilah Islam tradisional tumbuh berkembang pesat dalam tatanan kehidupan masyarakat di tingkat infrastruktur maupun suprastruktur. Keberadaan Islam tradisional merupakan wajah dalam mensinergikan budaya masyarakat pribumi dengan nilai-nilai ke-Islaman Nusantara, untuk menggagas berbagai macam permasalahan dalam kehidupan masyarakat, baik di tingkat infrastruktur maupun suprastruktur, agar terjadi sebuah paradigma pemikiran tentang ke-Islaman yang sejalan dan berimbang antara teks dan konteks ke-Islaman.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan menjadi dua ; Objektivisme dan Subjektivisme. 
Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektif, terletak pada subtansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakuykannya atau sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam pada batas tertentu ialah aliran Mu’tazilah (Rasionalisme Islam).
Aliran kedua ialah Subjektivisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak pertimbangan subjek tertentu. Subjek disini bisa saja berupa subjektivisme kolektif yaitu masyarakat, atau bisa saja subjek tuhan. Faham ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika Hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham Tradisionalisme Asy’ ariyah. Menurut faham Asy’ariyah (Tradisionalisme Islam), nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada objektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa manusia itu bagaikan “anak kecil” yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu, karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami bahwa mana yang baik dan mana yang buruk.
Pemahaman Islam Tradisional maksudnya disini adalah umat Islam yang memahami Al-Qur’an dengan tekstual dan apa yang pernah dilakukan rasul (red: bentuk ritual). Dengan kata lain pemahaman islam tradisional bisa dikatakan Islam Tekstual atau jalan pemikiran pertama. Yang kedua, pemahaman Islam Modern yaitu orang yang memahami Qur’an dan Sunnah Rasul sesuai dengan realita yang terjadi/kontemporer (red: pemahaman Kontekstual) atau jalan pemikiran kedua.
Kedua pemahaman ini mempunyai argumentasi yang sama berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, hal ini berdampak konflik dalam masyarakat. Persoalan yang diperdebatkan dalam hal ini adalah sebagai berikut:
a.   Kepemimpinan
Berbicara tentang kepemimpinan, pemahaman islam tradisional mengatakan bahwa pemimpin itu adalah seorang laki-laki, hal ini merujuk pada QS. Annisa (4): 34 (al rijal kaumuna ‘alannisa). Sedangkan pemahaman islam modern mengatakan bahwa bahwa ayat ini tidak mengakomodir potensi perempuan. kata rijal di ayat tersebut berarti sebagai potensi yang kuat dan annisa berarti sebagai potensi lemah sehingga perempuan punya kesempatan menjadi pemimpin kalau memiliki potensi rijal.
b.   Waris
Dalam pembagian warisan pemahaman Islam tradisional mengatakan bahwa anak laki-laki mendapat 2 kali anak perempuan (lihat QS. Annisa (4): 11). Sedangkan pemahaman Islam modern mengatakan ayat ini tidak adil karena mendzalimi kaum perempuan, kondisi perempuan hari ini sangat tidak berdaya dalam memaksimalkan potensinya.
c.   Hukuman
Pemahaman Islam tradisional mengatakan bahwa orang yang mencuri hukumannya adalah potong tangan, sedangkan menurut pemahaman Islam modern bahwa hukum potong tangan itu konteksnya adalah membuat jerah pelakunya, jadi hukum potong tangan bisa diganti dengan hukuman penjara saja.
d.   Poligami
Berbicara poligami ini merupakan topik yang hari masih hangat dibicarakan dikalangan umat Islam karena sudah ada beberapa contoh yang melakukan apa yang dikatakan Al-Qur’an. Menurut pemahaman islam tradisional mengatakan bahwa ayat ini sudah pernah dicontohkan Rasul dan ada ayat juga yang mendukungnya. Sedangkan menurut pemahaman Islam modern mengatakan bahwa Rasul tidak bisa disamakan dengan umatnya dan mana ada perempuan yang mau dibagikan perasaannya terhadap suaminya.
Masih banyak lagi hal yang diperdebatkan kedua pemahaman ini, sehingga perlu mencari jalan keluar yaitu jalan ketiga (benar secara tekstual dan bisa dikontekstualkan). Jalan ketiga disini adalah pemahaman keislaman yang ada harus kembali lagi pada sumber rujukannya yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Tentu harus memiliki syarat sehingga tidak melahirkan pertentangan dan perpecahan yang baru yaitu: [a]. Istilah yang bersumber Al- Qur’an harus dijelaskan oleh Al-Qur’an tersebut. [b]. Harus bisa menjadi Hudalinnas (petunjuk bagi manusia atau masyarakat).
Nafas islam tradisional tumbuh berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat nusantara. Bahkan dengan corak keberagaman antara masyarakat nusantara yang satu dengan masyarakat nusantara yang lainnya, tetapi walaupun beragam corak dalam kehidupan masyarakat nusantara. Bahwa sejak dahulu kala terdapat sebuah bangunan kerukunan, menghargai, tepa selira dalam kehidupan antar masyarakat nusantara. 
Sedangkan Islam liberal dengan wajah barat dalam mengadopsi ke-Islaman melakukan berbagai manuver politis, tentu dengan tujuan membuka masyarakat tradisional, agar dapat mengikuti kehendak paradigma Islam liberal dalam membedah khazanah ke-Islaman, agar sesuai dengan budaya bangsa barat dalam melakukan sebuah kajian. 
Sehingga yang terjadi sebuah kerancuan antara teks dan konteks dalam khazanah ke-Islaman. Masyarakat pribumi nusantara sudah mempunyai kepribadian dan watak dalam corak pandang tentang ke-Islaman, tetapi Islam liberal dengan bersikukuh dalam melakukan sebuah perubahan dalam kepribadian masyarakat nusantara, agar wajah ke-Islaman nusantara terbelah dengan wajah bangsa barat. Sebab kalau wajah ke-Islaman nusantara sudah mengadopsi budaya bangsa barat. Maka bangsa barat dengan mudah masuk dalam ranah ekonomi. sosial, politik dan berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat nusantara. 
Keberadaan Islam liberal tumbuh berkembang secara pesat dengan paradigma bangsa barat dalam menggagas ke-Islaman. Sejak reformasi bergulir sebagai pintu gerbang dalam mengedepankan sebuah kebebasan disegala bidang. Berangkat dari sinilah Islam liberal terus menyusup dalam lingkup akademis maupun menyusup dalam lingkup yang lebih luas lagi. Paradigma Islam liberal cenderung mengadopsi gagasan barat dalam melakukan berbagai kajian tentang ke-Islaman. Sehingga produk Islam liberal cenderung mengarah kepada penghakiman terhadap budaya ke-Islaman tradisional yang di anggap tidak mengalami sebuah kemajuan dalam membedah ke-Islaman. 
Aneh sekali, ketika Islam liberal membedah tentang lesbi dan gay yang di anggap sebagai bentuk sebuah kemajuan zaman, apabila dikaitkan dengan dunia ke-Islaman, padahal fenomena tentang Lesbi dan Gay bukanlah permasalahan baru. Karena sejak zaman nabi sudah ada peristiwa tersebut, seperti kisah Nabi Luth as, dalam menghadapi kebobrokan moral para kaum homoseksual. Permasalahan Lesbi dan Gay bukanlah permasalahan baru, tetapi Islam liberal berusaha mengkaji ulang tentang permasalahan Lesbi dan Gay, agar masyarakat dapat menerima keberadaan Lesbi dan Gay sebagai bentuk wajah keberagaman dan kebebasan. 
Peristiwa Irshad Manji sebagai duta Islam liberal dapat dijadikan contoh kecil. Bahwa gagasan Irshad manji tentang Lesbi dan Gay masuk dalam ranah nusantara, ternyata ditolak oleh masyarakat Islam. Berangkat dari sinilah Islam liberal memberikan sebuah gambaran. Bahwa orang yang menolak Irshad Manji tidak menghargai sebuah kebebasan, padahal menolak atau menerima merupakan sebuah bentuk kebebasan, apabila dilihat secara utuh tentang makna kebebasan. Irshad Manji merupakan duta besar Islam liberal dalam menggagas ke-Islaman dengan corak pandang budaya bangsa barat, padahal kalau di cermati dalam khazanah ke-Islaman sejak zaman klasik, bahwa Islam sangat mengutuk tindakan Lesbi dan Gay, tetapi Islam liberal berusaha melakukan sebuah tafsir Islam dengan cara paradigma budaya barat dalam membedah tentang Lesbi dan Gay. Sehingga mengakibatkan sebuah benturan antara teks dan konteks, apalagi Islam liberal berusaha dengan ngotot memasukkan gagasan tentang Lesbi dan Gay dalam ranah nusantara, agar Lesbi dan Gay dapat diterima dalam kehidupan masyarakat nusantara sebagai wajah Islam kontemporer. 
Paradigma Islam liberal terus melakukan sebuah kajian dalam membedah budaya nusantara, agar masyarakat nusantara membuka diri dengan budaya bangsa barat, padahal bangsa barat sendiri tidak mau berwajah nusantara dalam menggagas berbagai permasalahan tentang eksistensi bangsa barat, begitupula masyarakat nusantara tidak akan cocok dengan budaya bangsa barat dalam mengkaji beragam persoalan. Islam tradisional merupakan wajah masyarakat pribumi dalam setiap menggagas berbagai macam tentang khazanah ke-Islaman, sedangkan Islam liberal merupakan wajah bangsa barat dalam menggagas tentang ke-Islaman. Sehingga wajar dalam paradigma berpikir Islam liberal saat bertolak belakang dengan Islam tradisonal dalam memberikan sebuah argumen tentang khazanah ke-Islaman. 
Keberadaan Islam tradisional menginginkan sebuah paradigma antara teks dan konteks dapat terjadi sinergi yang saling melengkapi, tetapi Islam liberal cenderung mengarah terhadap kekuatan akal secara berlebihan dalam mengkaji ke-Islaman. Berangkat dari sinilah dalam kajian Islam liberal cenderung mengarah kepada kekuatan nalar, tetapi tidak mensinergikan antara teks dan konteks secara utuh, tetapi hanya sebatas teks dan konteks secara parsial. Islam tradisional dan Islam liberal dalam khazanah nusantara merupakan dua wajah yang berbeda. Sebab Islam tradisional mengedepankan paradigma ke-Islaman dengan teks dan konteks tanpa mengabaikan Khazanah Nusantara. Sedangkan Islam liberal dalam mengkaji ke-Islaman cenderung mengarah pada budaya bangsa barat, agar dapat di terima dalam kehidupan Khazanah Nusantara. Melihat beragam serangan dari berbagai argumen para penganut di luar Islam tradisional, perlu ada sebuah bentuk pemahaman secara tepat, bahwa tuduhan dari luar Islam tradisional bukanlah sebuah kebenaran, sebab Islam tradisional merupakan sebuah pengejawantahan antara nilai-nilai ke-Islaman dengan budaya masyarakat setempat, agar terjadi saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya. 
Geliat Islam tradisional dalam menjawab sebuah argumen Islam liberal dengan berusaha memberikan sebuah pemaparan dengan cara mengerahkan dengan berpegang pada sebuah nilai keseimbangan antara tekstual dengan kontekstual. 
Keberadaan Islam Liberal cenderung secara kontekstual dalam memberikan sebuah makna kehidupan. Sehingga terkadang Islam liberal kebablasan dalam menerjemahkan masalah kajian ke-Islaman tanpa mengindahkan tekstual. Sedangkan Islam khilafah cenderung mengarah kepada pembahasan seputar pemurnian Islam. 
Bahkan kajian Islam Khilafah cenderung mengarah dalam bentuk tekstual, padahal antara tekstual dengan kontekstual sudah semestinya harus sejalan dalam melihat beragam fenomena kehidupan masyarakat secara luas. Pasca reformasi telah terjadi sebuah pola pikir dengan mengarah kebablasan dalam mengkaji ke-Islaman baik dari Islam Liberal maupun Islam Khilafah. Sehingga menghasilkan satu sama lain saling menaruh curiga sesama masyarakat Islam. Islam tradisional pasca reformasi merupakan wajah dinamika baru dalam memberikan sebuah pemahaman dengan jalan tengah, bahwa Islam merupakan perpaduan antara tekstual dengan kontekstual dalam menjawab dan menerjemahkan beragam permasalahan kehidupan masyarakat secara umum. 


Proses pembentukan budaya di suatu komunitas masyarakat berlangsung dalam kurun waktu cukup lama. Di Jawa sebagai contoh, terwujudnya masyarakat Islam tradisional yakni setelah mengalami proses "persentuhan" dengan budaya lokal. Islam sebagai pendatang baru yang membawa "sesuatu yang baru" mau tidak mau bersentuhan dengan budaya setempat. Akibatnya, terjadilah proses "take and give" mengambil dan memberi hingga terbentuklah Islam tradisional  sebagaimana dipratekkan oleh para ulama terdahulu. Berbagai referensi menyebutkan bahwa Islam tradisional berbasis di pedesaan sehingga seringkali diungkapkan Islam tradisional adalah Islam pedesaan, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak kaum urban di perkotaan yang masih menerapkan budaya kaum muslim tradisonal di pedesaan. Hal ini mengingat kaum urban itu dahulunya berasal dari pedesaan juga. 
Di Indonesia kaum tradisionalis sering di identikkan dengan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial keagamaan terbesar. Secara hakekat arti kata tradisional sebenarnya merupakan perwujudan dari sifat-sifat kaku dan tidak fleksibel terhadap perubahan di lingkungannya. Namun, kenyataan yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Kacung Marijan (1992) menyebutkan bahwa Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis. Meskipun saat ini banyak kaum tradisionalis yang bersikap lebih modern, akan tetapi warna konservatif masih melekat dalam kehidupan sehari-harinya.
Tokoh Islam Tradisional di Indonesia

Tokoh Islam Tradisonal di Indonesia yang juga seorang Pahlawan Nasional adalah KH. Hasyim Asyhari. Disaat akan meletusnya peristiwa 10 November 1945 (yang kemudian tanggal tersebut kita peringati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan), beliau juga mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad (yakni fatwa yang menegaskan bahwa Cinta Tanah Air Sebagian daripada Iman). Beliau adalah keturunan kyai dari Demak. KH. Hasyim Asyhari terlahir pada tanggal 14 Februari 1871. Sejak usia 6 tahun, beliau mulai belajar mengaji dari ayahandanya. KH. Hasyim Asyhari sudah terlihat cerdas sejak dini. Ketika baru berumur 12 tahun, dirinya sudah diberikan kesempatan mengajar para santri di pesantren ayahandanya.

Sejak usia 15 tahun, dirinya mulai berkelana dari pesantren ke pesantren di Jawa Timur dan Madura. Tahun 1891, KH. Hasyim Asyhari belajar di pesantren kyai Ja’kub, Sidoarjo. Ia mengikuti jejak ayahandanya, dengan menikahi putri gurunya di tahun 1892. Di tahun yang sama dirinya juga pergi berhaji ke Mekkah sambil menimba ilmu agama Islam. Salah satu gurunya disana adalah Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau. Malangnya, setelah di Mekkah selama tujuh tahun, istrinya meninggal.

Selama berada di Mekkah, dirinya juga pernah memberi pelajaran agama Islam, walau sebentar, pada pelajar-pelajar dari Asia Tenggara seperti Burma, Siam, Malaysia, Indonesia dan sekitarnya.
Kisah Pendirian Nahdhatul Ulama (NU)


Sebelum mendirikan Nahdatul Ulama pada tahun 1926, berbagai gerakan keagamaan (Islam) sudah tersebar di berbagai kota besar maupun kecil di wilayah kekuasaan Hindia Belanda sejak dekade 1910-an. Pada tahun 1912 sudah ada gerakan Muhammadiyah di Yogyakarta yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan. Sayangnya gerakan Muhamadiyah pimpinan KH. Ahmad Dahlan ini, sebelum wafatnya sang pemimpin di tahun 1923, KH. Ahmad Dahlan belum mampu menyentuh akar-akar fundamental Islam Tradisional. Karena tekanan awal gerakan Islam modern itu bertumpu pada masalah sosial, ekonomi dan politik mengakibatkan munculnya rasa terancam dari para pimpinan Islam tradisional. Meningkatnya jumlah pengikut Sarekat Islam menjelang dekade 1920-an dikarenakan karena peran kyai dalam memobilisasi massa pada tingkat masyarakat luas. Di dalam Sarekat Islam sendiri terdapat dua kubu: Islam modern maupun Islam tradisional. Sering terjadi perdebatan antar kyai pimpinan pondok pesantren dan para ulama pasca meninggalnya KH. Ahmad Dahlan. Wadah perdebatan mereka adalah organisasi Tashwirul Afkar di Surabaya.
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan shalat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergetar. ”Keinginanku untuk membentuk jami'iyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih tersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisasi/jami’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Februari 1923 di kota Bandung, berdirilah Persatuan Islam (Persis). Para anggota Persis sering melontarkan pandangan-pandangan tidak kompromistis yang ditujukan pada pikiran Islam tradisional. Ketika Kongres Al-Islam diselenggarakan di Bandung pada bulan Februari 1926, pemimpin gerakan Islam modern tampil mendominasi forum kongres dan usul-usul pimpinan Islam tradisional diabaikan. Usulan kaum tradisional itu menyangkut terpeliharanya praktek keagamaan tradisional seperti eksistensi empat mazhab dan pemeliharaan kuburan nabi dan empat sahabatnya. Karenanya, KH. Hasyim Asyhari lalu melontarkan kritik pedas pada forum yang dikuasai kaum Islam modern itu.

Tepat pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jami’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Nahdlatul Ulama semakin berkembang dengan banyak pendukung dari dua daerah yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam anggaran dasarnya yang dirumuskan tahun 1927, organisasi ini bertujuan memperkuat kesetiaan kaum Muslimin pada salah satu dari empat mazhab yang ada serta melakukan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan dalam ajaran Islam. Kegiatan Nahdatul Ulama antara lain: pertama, memperkuat persatuan antara sesama ulama yang masih setia pada empat mazhab; kedua, memberi bimbingan tentang kitab-kitab yang diajarkan pada lembaga pendidikan Islam; ketiga, menyebarkan ajaran-ajaran Islam; keempat, menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan empat mazhab; kelima, memperluas jumlah madrasah dan membantu organisasinya; keenam, membantu pembangunan masjid, langgar dan pondok pesantren; ketujuh,membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin serta mendirikan badan-badan usaha untuk memajukan kehidupan ekonomi anggotanya.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek thoriqoh. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarkan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek thoriqoh.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Qur'an atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Sejak berdirinya, Nahdatul Ulama terbilang mampu membendung masuknya ide-ide Islam modern ke desa-desa Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak akhir dekade 1920-an terjadi status quo, dimana kaum Islam modern memusatkan gerakannya di lingkungan perkotaan, sedang Islam tradisional cukup puas dengan menarik pengikut dari lingkungan desa saja. Kendati ada persaingan antara Islam tradisional dengan Islam modern, keduanya bersatu dalam Majelis Ulama A’la Indonesia (MUAI). Kaum Islam modern juga mengakui kharisma dan pengaruh KH. Hasyim Asyhari begitu dalam bagi masyarakat Islam tradisional, yang menimbulkan kesepakatan untuk menunjuk KH. Hasyim Asyhari dan putranya, KH. Wahid Hasyim, duduk sebagai pimpinan MUAI.

Apa yang dilakukan KH. Hasyim Asyhari selama kurun waktu masa pergerakan nasional adalah membenahi diri dan memperkuat kaum Islam tradisional yang tersebar di pelosok desa dalam gerakan Islam tradisonalnya yakni Nahdatul Ulama. KH. Hasyim Asyhari berusaha memelihara kekuatan kebangkitan Islam dengan basis kaum Islam tradisonal dimasa pergerakan nasional sebagai kekuatan potensial pergerakan Islam. Kendati tidak tampak, kaum Islam tradisional yang terdiri dari kyai dan santri ini seolah menjadi kekuatan menakutkan bagi pemerintah kolonial dimasa pergerakan dan sebelumnya. Peran kelompok Islam tradisional dalam pergerakan nasional seolah tertutupi dalam lembaran sejarah bangsa ini.

Kyai dari Tebu Ireng

Ketika KH. Hasyim Asyhari belajar di Mekkah, Mohamad Abduh sedang giat mengkampanyekan gerakan pembaruan pemikiran Islam yang kemudian juga ikut mewarnai babak baru sejarah Islam modern di Indonesia. Pembaruan Islam yang dibawa Mohamad Abduh yang berasal dari Mesir, menurut Deliar Noer, cukup mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Mekkah. Syaikh Ahmad Khatib, salah satu guru KH. Hasyim Asyhari, adalah orang yang tertarik dengan ajaran Mohamad Abduh. Ide-ide pembaruan Islam yang diusung Mohamad Abduh antara lain : 
Memurnikan Islam dari pengaruh non Islam; Mereformasi pendidikan Islam ditingkat unversitas; Mengkaji dan merumuskan ajaran-ajaran Islam sesuai perkembangan zaman; Mempertahankan Islam.
Apa yang menjadi pandangan gurunya, Syaikh Ahmad Khatib, tidak menjadi pandangan bagi KH. Hasyim Asyhari. Sekembalinya ke Indonesia dua orang itu menempuh arus yang berbeda, Khatib memilih jalan pembaharuan dengan melepaskan diri pada empat mazhab besar, sedangkan KH. Hasyim Asyhari setuju dengan ide-ide Mohamad Abduh.

Sekembalinya dari Mekkah, Hasyim mendirikan sebuah pesantren yang dinamakan pondok pesantren Tebu Ireng. Pesantren ini dimulai dengan tujuh orang murid lalu bertambah duapuluh orang yang kemudian terus berkembang. Murid-muridnya pun lama-kelamaan tidak hanya seorang santri biasa, tetapi juga seorang kyai yang haus ilmu. Para kyai itu biasa datang pada tiap bulan Sya’ban. Seorang guru KH. Hasyim Asyhari juga ada yang ikut belajar padanya di Tebu Ireng pada tahun 1933. Ini adalah tanda, betapa tinggi ilmu seorang KH. Hasyim Asyhari yang pernah belajar banyak dari para Syeik di Mekkah.

Pengalaman belajar serta mengajar ini kelak bermanfaat baginya untuk mengembangkan metode pengajaran bagi pesantrennya kelak. Kondisi tanah kelahirannya, Hindia, terlihat kaum pribumi telah begitu dihinakan dan diperas oleh bangsa dari benua lain, Belanda. Rakyat pribumi dibodohi agar tidak melawan atas penindasan orang-orang Eropa itu. 

Pembodohan ini harus dihentikan oleh bngsa pribumi. KH. Hasyim Asyhari pernah mengatakan: “Bangsa tidak akan jaya apabila warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik.” Karenanya beliau lebih berkonsentrasi di jalur yang telah dijalani ayahanda dan kakek-kaket buyutnya dalam menjalankan sebuah pesantren.

Usaha pendirian pesantren, rupanya mendapat banyak tantangan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang berkeinginan agar umat Islam di Hindia terus terbelakang. Saat itu pemerintah Hindia Belanda melihat adanya ancaman dari gerakan Wahabi yang dibawa oleh orang-orang Islam yang naik haji. Tidak heran bila kuota haji pribumi kemudian dibatasi. Sebuah peristiwa yang memilukan lalu terjadi pada pesantren Tebu Ireng. Setelah mengalami kegagalan menjegal usaha KH. Hasyim Asyhari, sebuah pasukan bersenjata kemudian dikirim untuk menduduki pesantren Tebu Ireng dan menghancurkan apa saja yang ada di dalam pesantren. Ada usaha dari aparat kolonial untuk menculik atau membunuh KH. Hasyim Asyhari. Tidak salah bila terjadi pertumpahan darah lantaran para santri membela kyai-nya sampai mati. Tentu saja pemerintah kolonial menggunakan berbagai dalih atas tindakannya. Kaum santri dicap sebagai pemberontak. Pesantren adalah pusat perusuh, pemberontak, atau bahkan tempat bercokolnya orang-orang Islam Ekstrim.

Setelah peristiwa memilukan itu, KH. Hasyim Asyhari berseru agar semua yang hadir bersabar dan tabah. “Kejadian-kejadian ini tidak boleh menghancurkan cita-cita dan mengendorkan semangat” kata beliau. Peristiwa ini justru menjadi pendorong utama menggandakan tekat dan kegiatan dalam perjuangan. Hasyim juga mengirimkan utusan ke berbagai kota dan pulau di Hindia. Utusan itu berhasil mengumpulkan berbagai dukungan, baik moral maupun material dari orang-orang Islam yang simpati. Banyak pemuda dengan sukarela datang untuk melindungi pesantren. Banyak orang Islam beranggapan peristiwa ini tidak hanya merusak pesantren Tebu Ireng, tetapi juga menginjak-injak kaum muslim secara umum.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.

Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Keberadaan Islam tradisional merupakan sebuah proses menuju jalan tengah antara pergolakan Islam ala barat dengan pergolakan Islam ala timur tengah. Inilah peran dari Islam tradisional sebagai media jalan tengah dalam memajukan Islam, khususnya di Indonesia dalam mencari sebuah makna dari nilai-nilai ke-Islaman yang tersurat maupun tersirat. Agama Islam merupakan sebuah pengejawantahan antara Nilai-nilai ke-Islaman dalam kehidupan masyarakat secara universal. Semoga Allah Membekali kita dengan ilmu yang bermanfa’at, dan menjadikan kita termasuk orang yang berilmu serta menjadikan kita termasuk golongan manusia yang mulia di dunia maupun di akhirat, Amiin.



Sumber dikutip dari :
[1] http ://artkel-mak.blogspot.com/2009/12/alam-pemikiran-islam
tradisional-dan.html
[2] http ://goedanggaram.wordpress.com/2012/10/19/penjelasan-islam
tradisional/
[3] http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com
_content&view=article&id=2542:mengkritisi-budaya-masyarakat-islam-
tradisional&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
[4] http://agama.kompasiana.com/2010/09/12/hasyim-asyhari-dan-gerakan-
islam-tradisional/
[5] http://fimadani.com/kh-hasyim-asyari-sang-penjaga-islam-tradisional/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar