Minggu, 09 Desember 2012

Islam Tradisional Indonesia - SEDEKAH BUMI

SEDEKAH BUMI

Salah satu efek positif dari SEDEKAH BUMI itu sendiri adalah terjalin kuatnya Ukhuwah Islamiyah antar tetangga, atau bahkan antar kampung/desa.






Masyarakat Jawa memang terkenal dengan beragam jenis tradisi budaya yang ada di dalamnya. Baik tradisi kultural yang bersifat harian, bulanan hingga yang bersifat tahunan, semuanya ada dalam tradisi budaya Jawa tanpa terkecuali. Dari beragam macamnya tradisi yang ada di masyarakat Jawa, hingga sangat sulit untuk mendeteksi serta menjelaskan secara rinci terkait dengan jumlah tradisi kebudayaan yang ada dalam masyarakat Jawa tersebut.


Salah satu tradisi masyarakat Jawa yang hingga sekarang masih tetap eksis dilaksanakan dan sudah mendarah daging serta menjadi rutinitas bagi masyarakat Jawa pada setiap tahunnya adalah sedekah bumi. Ritual sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di pulau Jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang orang Jawa terdahulu.




Sebenarnya acara SEDEKAH BUMI semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Bukankah Allah SWT telah berfirman (artinya) :

“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Ar-Rasul (As-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya”. (An Nisaa’: 59).

Ritual adalah berkenaan dengan tata cara dalam upacara keagamaan. Dalam hal ini ritual dapat juga diartikan sebagai jama’ah atau sekumpulan manusia yang berkumpul dalam suatu tempat untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan acara keagamaan.


Pada acara ritual tradisi sedekah bumi, tidak banyak peristiwa dan kegiatan yang dilakukan di dalamnya. Hanya saja, pada waktu acara tersebut biasanya seluruh masyarakat sekitar yang merayakannya membawa sesajen dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampung, di balai desa atau tempat-tempat yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut. Setelah itu, kemudian masyarakat membawa sesajen tersebut ke balai desa atau tempat setempat untuk di doakan oleh tetua adat. Usai di doakan oleh sesepuh atau tetua adat, kemudian kembali diserahkan kepada masyarakat setempat yang membuatnya sendiri. Sesajen yang sudah di doakan oleh sesepuh kampung atau Tetua adat setempat kemudian di makan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi itu. Namun, ada juga sebagian masyarakat yang membawa sesajen tersebut yang membawanya pulang untuk dimakan beserta sanak keluarganya di rumah masing-masing.



Puncak ritual sedekah bumi diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Tetua Adat, lantunan doa tersebut merupakan kolaborasi antara kalimat-kalimat Jawa dengan lafal-lafal doa yang bernuansa Islami, juga merupakan simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan, menurut cerita para nenek moyang terdahulu, “Tanah itu merupakan pahlawan bagi kehidupan manusia di muka bumi ini”.

Jika dilihat dengan sebelah mata sebenarnya ritual ini sangat mitos sekali dan tidak masuk akal, akan tetapi masyarakat setempat meyakini ritual ini merupakan pembawa berkah bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Ritual tersebut tidak hanya mengirim doa dan makan-makan saja melainkan puncaknya dari acara ini dengan mengadakan sebuah pertunjukan wayang golek atau wayang kulit yang merupakan inti dari acara tersebut, dan konon katanya para leluhur atau nenek moyang mereka sangat menyukai acara wayang golek dan wayang kulit ini, acara ini menghabiskan sehari semalam suntuk hanya untuk melaksanakan acara tersebut.


Relevansi Budaya Spiritual Jawa dan Peranannya bagi Masyarakat



Banyak anggapan bahwa budaya spiritual dan ritual Jawa sebagai primitif penuh ketahayulan. Anggapan yang demikian sesungguhnya terlalu tergesa-gesa dan lebih berdasarkan keengganan untuk melakukan kajian mendalam tentang sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup Jawa yang melandasi adanya budaya spiritual dan berbagai ritual Jawa. Setiap bangsa manusia tercipta dengan diberi kelengkapan spiritual yang azali kodrati (buildin) dan sesuai jumlah jiwa untuk menjalani hidup pada keadaan habitat lingkungan alam mukimnya masing-masing. Kenyataannya, bahwa ada perbedaan situasi dan kondisi alam (termasuk nuansa spiritualnya) pada bagian-bagian bumi. Setiap bangsa melahirkan budaya dan peradabannya.



Pada budaya dan peradaban setiap bangsa terkandung unsur-unsur budaya: sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup masing-masing bangsa tersebut yang azali kodrati. Universal atau tidak sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup suatu bangsa sifatnya relatif. Permasalahannya, ada pengaruh kondisi habitat lingkungan alam semesta setiap bangsa bermukim.



Bahwa Jawa merupakan bagian bumi yang tropis, vulkanis, maritim (bahari), subur makmur lengkap flora dan fauna (plasma nutfah) nya, tetapi penuh dengan bencana alam. Situasi dan kondisi alam semesta Jawa yang demikian tersebut mendasari sistim religi, spiritualisme, filsafat hidup, tata kehidupan, budaya (tradisi/adat), bahasa, sistim ilmu pengetahuan, seni, karya, sastra, dan karakter dasar bangsa Jawa. Kesuburan bumi Jawa dengan ragam yang lengkap menjadikan orang Jawa tercukupi kesediaan bahan pangannya. Maka tidak ada konflik dan persaingan mendasar untuk berebut pangan.



Ketersediaan bahan pangan oleh habitat alam melahirkan mata pencaharian utama masyarakat Jawa pada bidang pertanian dan kebaharian. Jenis pekerjaan yang butuh kerjasama banyak orang sehingga menjadikan hubungan antar manusia menjadi berkeadaban dengan pijakan nilai rukun dan selaras, gotong-royong.



Banyaknya bencana alam, menjadikan masyarakat Jawa sadar dan paham akan pekerti alamnya. Juga melahirkan pemahaman adanya hubungan manusia dengan alam semesta (jagad raya) berikut segala isinya. Kesadaran adanya hubungan manusia dengan alam menjadikan karakter masyarakat Jawa bersahabat dengan alam. Dari sini lahir ritual dan budaya spiritual Jawa yang berhubungan dengan alam dan seluruh isinya. Olah cipta rasa masyarakat Jawa melahirkan pemahaman adanya maha kekuatan yang Murba Wasesa (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya realitas tertinggi untuk disembah. Kesadaran ini melahirkan ritual dan budaya spiritual panembah kepada sesembahan.



Dengan alur pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka bisa kita pahami bahwa ritual dan budaya spiritual Jawa mengandung unsur-unsur hakiki : sebagai panembah kepada Sesembahan, sebagai hubungan manusia dengan alam semesta dengan seluruh isinya, dan sebagai ekspresi berkeadabannya manusia. Peradaban Jawa ke banyak bangsa yang mengenalnya tersebut di jaman kuno. Landasan berpikirnya, bahwa bangsa Nusantara (termasuk Jawa) adalah bangsa bahari yang mampu berkelana melalui samudra, sementara banyak bangsa yang menulis Jawa dalam catatan sejarahnya bukan bangsa pelaut. Wacana pemikiran bahwa bangsa Jawa di jaman kuno memiliki kedaulatan penting artinya untuk melakukan tinjauan mendalam tentang sistim religi, spiritualisme dan filsafat hidup Jawa guna menelusur Budaya Spiritual Jawa yang sejati. Bagaimanapun, secara logika, dikenalnya Jawa oleh bangsa-bangsa lain di banyak penjuru dunia, merupakan bukti ada yang lebih pada budaya dan peradaban Jawa yang sejati tersebut. Kelebihan tersebut kemudian mengundang bangsa-bangsa lain migrasi ke Jawa dan seluruh penjuru Nusantara.



Maka kemudian Jawa sebelum masuknya agama-agama diposisikan sebagai animisme dan menyembah arwah leluhur. Malahan ada yang kemudian menganggap budaya spiritual Jawa sebagai upaya menggapai kesaktian semata. Tak kurang pula yang menganggap budaya spiritual Jawa sebagai ritual bersekutu dengan setan untuk mendapatkan kesaktian tersebut. Salah paham yang demikian perlu diklarifikasi dengan mengemukakan landasan utama budaya spiritual Jawa yang sejati.



Barangkali kemungkinan penggunaan konsep pembentukan tradisi dapat dipertimbangkan untuk mencapai maksud ini. Sebagai suatu yang diturunkan dari masa lampau, tradisi tidak hanya berkaitan dengan landasan legitimasi tetapi juga dengan sistem otoritas atau kewenangan. Sebagai suatu konsep sejarah, tradisi dapat dipahami sebagai suatu paradigma kultural untuk melihat dan memberi makna terhadap kenyataan.



Sampailah kajian kita terhadap relevansi dan peran ‘Budaya Spiritual Jawa’ bagi masyarakat. Untuk itu, perlu dipahami bahwa proses meng- Indonesia pada seluruh unsur-unsurnya (termasuk Jawa) belum selesai. Masih terjadi kerancuan pemahaman membangun jatidiri Indonesia dengan penguatan identitas unsur-unsur. Dalam hal berkaitan dengan Jawa, maka terjadi nilai-nilai untuk meng-Indonesia dan penguatan identitas Jawa. Bahkan nilai-nilai tersebut bertambah rumit dengan masuknya nilai-nilai budaya dan peradaban dari agama yang dipeluk, serta nilai-nilai budaya dan peradaban modern Barat. Maka diperlukan suatu kecermatan, kehati-hatian, dan kearifan dalam mengangkat wacana-wacana Jawa dan keJawaan. Dengan demikian tidak mengganggu proses meng-Indonesia secara tuntas.

Budaya Spiritual Jawa melekat erat pada SDM masyarakat Jawa karena bersumber dari wujud spiritual yang kodrati pemberiaan Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula, sepanjang sejarah Nusantara, budaya spiritual Jawa selalu relevan terhadap eksistensi negara-negara (kerajaan) yang pernah ada. Bahkan mempunyai peran positif menjadikan jaya kerajaan-kerajaan tersebut. Bukti empirisnya berupa peninggalan monumen bangunan berupa candi-candi (Hindu dan Buddha) di Jawa yang lebih dibanding peninggalan di tempat agama Hindu dan Buddha berasal. Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa budaya spiritual Jawa memiliki karakter: ngemot, momong, dan mangkat (meninggikan derajat hingga berjaya) semua kerajaan yang ada meskipun berbeda budaya dan peradaban. Karena azali kodrati, maka meskipun telah dan akan bersinggungan, dan bersinergi, dengan banyak budaya spiritual yang lain, budaya spiritual Jawa masih tetap eksis tidak banyak berubah. Persoalan utamanya, bahwa budaya spiritual Jawa tetap memiliki aras dasar (tempat kedudukan (tahta) Allah Swt) kuat pada kesadaran: berTuhan, kesemestaan, dan keberadaban. Ketiga aras kesadaran tersebut merupakan dasar universalitas budaya spiritual Jawa. Di banyak bagian dunia, konflik antar manusia lebih disebabkan oleh perbedaan sistim religi yang terperangkap kepada sikap para pemeluknya, dan tidak mempersoalkan berbagai bentuk ritual panembah menjadi tali perekat persatuan antar manusia yang berbeda-beda.
Benarlah kiranya pernyataan Mpu Tantular (Jaman Majapahit): “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.

Konsep Dasar Tradisi dan Mitos


[1]   Pengertian Tradisi



Tradisi (Bahasa Latin : traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau Agama yang sama.Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-istiadat atau kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat.
Dalam suatu masyarakat muncul semacam penilaian bahwa cara-cara yang sudah ada merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi belum ada alternatif lain. Misalnya dalam acara tertentu masyarakat sangat menggemari kesenian rabab. Rabab sebagai sebuah seni yang sangat digemari oleh anggota masyarakat karena belum ada alternatif untuk menggantikannya disaat itu. Tapi karena desakan kemajuan dibidang kesenian yang didukung oleh kemajuan teknologi maka bermunculanlah berbagai jenis seni musik.


Adapun sumber tradisi pada umat ini, bisa disebabkan karena sebuah ‘Urf (kebiasaan) yang muncul di tengah-tengah umat kemudian tersebar menjadi adat dan budaya, ataukah kebiasaan tetangga lingkungan dan semacamnya kemudian dijadikan sebagai model kehidupan. Kalimat ini tidak pernah dikenal kecuali pada kebiasaan yang sumbernya adalah budaya, pewarisan dari satu generasi ke generasi lainnya, atau peralihan dari satu kelompok yang lain yang saling berinteraksi.



Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Ia tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya Islam akan menjustifikasikan (membenarkan)nya. Kita bisa bercermin bagaimana wali songo tetap melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.



Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi hubungan antara individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Efektifitas dan efesiensinya selalu terupdate mengikuti perjalanan perkembangan unsur kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efesiensinya rendah akan segera ditinggalkan pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya.



Terjadinya perbedaan kebiasaan pada setiap umat sangat tergantung pada kondisi kehidupan sosial kehidupan sosial masing-masing, yang selanjutnya akan mempengaruhi budaya, kebiasaan dalam sistim pewarisan dan cara transformasi budaya. Setiap kelompok berbeda dengan kelompok lainnya.

Selanjutnya dari konsep tradisi akan lahir istilah tradisional. Tradisional merupakan sikap mental dalam merespon berbagai persoalan dalam masyarakat. Didalamnya terkandung metodologi atau cara berfikir dan bertindak yang selalu berpegang teguh atau berpedoman pada nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kata lain setiap tindakan dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan tradisi. Seseorang akan merasa yakin bahwa suatu tindakannya adalah betul dan baik, bila dia bertindak atau mengambil keputusan sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Dan sebaliknya, dia akan merasakan bahwa tindakannya salah atau keliru atau tidak akan dihargai oleh masyarakat bila ia berbuat diluar tradisi atau kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya.


Disamping itu berdasarkan pengalaman (kebiasaan)nya dia akan tahu persis mana yang menguntungkan dan mana yang tidak. Di manapun masyarakatnya tindakan cerdas atau kecerdikan seseorang bertitik tolak pada tradisi masyarakatnya.



Dari uraian diatas akan dapat dipahami bahwa sikap tradisional adalah bagian terpenting dalam sistem tranformasi nilai-nilai kebudayaan. Kita harus menyadari bahwa warga masyarakat berfungsi sebagai penerus budaya dari genersi kegenerasi selanjutnya secara dinamis. Artinya proses pewarisan kebudayaan merupakan interaksi langsung (berupa pendidikan) dari generasi tua kepada generasi muda berdasarkan nilai dan norma yang berlaku.



[2]   Pengertian Mitos



Ada beberapa pengertian mitos yang diungkapkan oleh para sejarawan. Dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan bahwa :



Mitos adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kayangan) dan dianggap benar-benar terjadi oleh cerita atau penganutnya. Mitos pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya. Pengaruh mitos secara umum terhadap Masyarakat mitos sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang mempercayai mitos tersebut, ada juga masyarakat yang tidak mempercayainya. Jika mitos tersebut terbukti kebenarannya, maka masyarakat yang mempercayainya merasa untung.

Tetapi jika mitos tersebut belum terbukti kebenarannya, maka masyarakat bisa dirugikan.


Konsep Islam Mengenai Doa


[1]   Definisi Doa



Dalam Al-Quran banyak sekali kata-kata doa dalam pengertian yang berbeda. Al-Qasim Al-Naqsaband dalam kitab syarah Al-Asma’u al-Husna menjelaskan beberapa pengertian dari kata doa.

Pertama, Doa dalam pengertian “Ibadah.” Seperti dalam Al-Quran surah Yunus ayat 106.
Artinya: “Dan janganlah kamu beribadah, kepada selain Allah, yaitu kepada sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepada engkau dan tidak pula mendatangkan madarat kepada engkau”.
Maksud kata berdoa di atas adalah beribadah (menyembah). Yaitu jangan menyembah selain daripada Allah, yakni sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan tidak pula mendatangkan madarat kepadamu.
Kedua, Doa dalam pengertian permintaan atau permohonan. Seperti dalam Al-Quran surah Al-Mu’min ayat 60 dibawah ini.
Artinya: “Mohonlah (mintalah) kamu kepada-Ku, pasti Aku perkenankan (permintaan) kamu itu”.
Maksud kata Doa dalam ayat ini adalah, memohon atau meminta. Yaitu, mohonlah (mintalah) kepada Aku (Allah) niscaya Aku (Allah) akan perkenankan permohonan (permintaan) kamu itu.
Ketiga, Doa dalam pengertian memuji. Seperti dalam Al-Quran surah Al-Isra’ ayat 110 dibawah ini.
Artinya: “Katakanlah olehmu hai Muhammad: berdo’alah (pujilah) akan Allah atau berdo’alah (pujilah), akan Ar-Rahman (Maha penyayang)”.
Maksud kata do’a (qulid’) dalam ayat ini adalah memuji. Yaitu, pujilah olehmu Muhammad akan Allah atau pujilah olehmu Muhammad akan Al- Rahman. Maka atas dasar uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa do’a adalah ucapan permohonan dan pujian kepada Allah SWT. Dengan cara-cara tertentu disertai kerendahan hati untuk mendapatkan kemaslahatan dan kebaikan yang ada disisi-Nya. Seperti dikutip Hasbi Al-Shidiq do’a adalah “Melahirkan kehinaan dan kerendahan diri serta menyatakan kehajatan (kebutuhan) dan ketundukan kepada Allah Swt”.

[2]   Macam-macam Doa


Syeikh Abdurrahman bin Sa'diy berkata: "Setiap perintah di dalam al Qur'an dan larangan berdo'a kepada selain Allah, meliputi do'a masalah (permintaan) dan do'a ibadah.36 "Adapun perbedaan antara kedua macam do'a tersebut adalah :



A.   Do'a masalah (permintaan) adalah: Meminta untuk diberikan manfaat dan dicegah dari kemudharatan, atau sesuatu yang sifatnya permintaan. Dan ini dibagi menjadi tiga :

1) Permintaan yang ditujukan kepada Allah semata dan ini (termasuk tauhid dan berpahala.)
2) Permintaan yang ditujukan kepada selain Allah, padahal dia tidak mampu memenuhi dan memberikan permintaannya. Seperti meminta kepada kuburan, pohon-pohon besar atau tempat-tempat keramat. Dan ini termasuk syirik dan dosa besar.
3) Permintaan yang ditujukan kepada selain Allah pada hal-hal yang bisa dipenuhi dan bisa dilakukan, seperti meminta orang lain, yang masih hidup untuk memindahkan atau membawakan barangnya dan ini hukumnya boleh.
B.   Do'a Ibadah maksudnya semua bentuk ibadah atau ketaatan yang diberikan kepada Allah baik lahiriah maupun batiniah, karena pada hakikatnya semua bentuk ibadah misalnya shalat, puasa, Haji dan sebagainya, tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan ridho Allah dan dijauhkan dari azab-Nya.



Konsep Adat Kebiasaan atau ‘Urf



Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al- Qur’an yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.



S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Rasulullah Muhammad saw. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat. Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan salah satu metode Ushul Fiqh untuk meng-Istimbath setiap permasalahan dalam kehidupan ini.


[1]   Pengertian Adat Menurut Islam
Secara bahasa Al-adatu terambil dari kata al-audu dan al-muaawadatu yang berarti pengulangan, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan. Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah Al-‘Adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan.
[2]   Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia. Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ’urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya. Dalam kajian ushul fiqh, ‘urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehinga mereka merasa tentram.
Kebiasaan yang telah berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan, baik yang bersifat khusus maupun yang bersifat umum, dalam konteks ini, istilah ‘urf sama dan semakna dengan istilah al-‘adaah (adat kebiasaan).
[3]   Dalil Kaidah Al-Qur’an
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf .(QS. Al-Baqarah : 180)
Maksud dari ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku. Dalam salah satu Hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadist tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
Jadi Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah (kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan penetapannya sangat memperhatikan tradisi, kondisi sosiokultural, dan tempat masyarakat sebagai objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan. Tujuan utama syari’at Islam (termasuk didalamnya aspek hukum) untuk kemaslahatan manusia sebagaimana di kemukakan as-Syatibi akan teralisir dengan konsep tersebut. Pada gilirannya syari’at hukum Islam dapat akrab, membumi, dan diterima di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang plural, tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih rinci tanpa melanggar al-Quran dan as- Sunnah.
[4]   ‘Urf Ditinjau dari Segi Objeknya
Dari segi obyeknya ‘Urf (adat kebiasaan) dibagi pada al-‘urf al-lafzhi (adat kebiasaan/ kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-‘amali (adat istiadat/ kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
A) Al-‘Urf al-lafzhi adalah adat atau kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan ungkapan tertentu dalam meredaksikan sesuatu. Sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat.
B) Al-‘Urf al-‘amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud dengan “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.
[5]   ‘Urf Ditinjau dari Segi Cakupannya
Dari segi cakupannya, ‘Urf dibagi dua, yaitu Al-‘Am (adat yang bersifat umum) dan Al-‘Urf Al-Khash (adat yang bersifat khusus).
A) Al-‘Urf Al-‘Am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah.
B) Al-‘Urf Al-Khash adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
[6]   ‘Urf Ditinjau dari Segi keabsahannya
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf dibagi dua yaitu al-‘urf al-shahih (adat yang sah) dan al-‘urf al-fasid (adat yang dianggap rusak).
A) Al-‘urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka.
B) Al-‘urf al-fasid adalah suatu kebiasaan yang telah berjalan dalam masyarakat, tetapi kebiasaan itu bertentangan dengan ajaran Islam atau menghalalkan yang haram.
[7]   Syarat-syarat ‘Urf
Syarat-syarat ‘urf dapat diterima oleh hukum islam adalah dengan :
A) Tidak ada dalil yang khusus untuk suatu masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
B) Pemakaian tidak mengakibatkan dikesampingkannya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan mafsadat, kesulitan atau kesempitan.
C) Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
‘Urf sebagai landasan penetapan Hukum atau ‘Urf sendiri yang ditetapkan sebagai hukum bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemudahan, terhadap kehidupan manusia. Dengan berpijak pada kemaslahatan ini pula manusia menetapkan segala sesuatu yang mereka senangi dan mereka kenal. Adat kebiasaan seperti ini telah mengakar dalam masyarakat sehingga sulit ditinggalkan karena terkait dengan berbagai kepentingan hidup mereka.
[8]   Kehujjahan ‘Urf dalam Hukum Islam
Para ulama berpendapat bahwa ‘urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbuatan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’ Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya, karena melihat praktek yang berlaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan ‘urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara’ nash maupun ketentuan umum nash.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ‘urf dapat dipakai sebagai dalil mengistimbatkan hukum. Namun, ‘Urf bukan dalil yang berdiri sendiri, ia menjadi dalil karena ada yang mendukung dan ada sandarannya, baik berbentuk ijma’, maupun maslahat.



Deskripsi Tradisi Sedekah Bumi yang berkembang di Masyarakat Jawa.



Sejarah perkembangan sistem kepercayaan orang Jawa telah dimulai sejak jaman pra sejarah, yaitu waktu nenek moyang suku bangsa Jawa beranggapan bahwa semua benda yang ada disekelilingnya itu mempunyai kekuatan, roh, dalam bentuk pemakaman leluhur. Dengan kata lain, di samping kekuatan yang jauh lebih hebat yang ada di luar tubuh manusia. Kekuatan itu mampu membuat kehidupan manusia dan sekelilingnya berubah menjadi baik atau buruk.

“Kegiatan keagamaan orang Jawa yang menganut Agama Kepercayaan Jawa juga mengenal sistem upacara. Bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang adalah salah satu bentuk upacara keagamaan yang dilakukan. Adat untuk mengunjungi makam keluarga dan makam nenek moyang (nyekar) adalah suatu tindakan yang penting dalam agama Jawa. Dan segala bentuk upacara atau slametan yang dilakukan selalu menggunakan berbagai jenis sesaji (sesajen,sajen)”.
Menurut Koentjaraningrat hubungan manusia dengan alam melahirkan kepercayaan yang juga dilestarikan. Dalam rangka menjaga keharmonisan hubungan antara individu dengan leluhurnya ataupun dengan alam, masyarakat Jawa mengembangkan tradisi slametan maupun ziarah kubur serta ziarah ke tempat-tempat lain yang dikeramatkan. Hal ini disebabkan dalam pandangan masyarakat Jawa roh yang meninggal itu bersifat abadi.


Orang yang telah meninggal, arwahnya tetap memiliki daya sakti, yaitu dapat memberi pertolongan pada yang masih hidup sehingga anak cucu yang masih hidup senantiasa berusaha untuk tetap berhubungan dan memujanya.



Sebelum Islam datang di Jawa, masyarakat Jawa menganut agama Hindu dan Budha serta kepercayaan asli Jawa. Kedua agama tersebut (Hindu dan Budha) didatangkan untuk keperluan legitimasi kekuasaan raja. Di samping itu, Hindu dan Budha didatangkan untuk keperluan istana guna manyerap pengetahuan tentang teknik membuat candi sekaligus merupakan aktivitas untuk menunjukkan kebesaran keraton, upacara istana, teknik memerintah, dan sebagainya. Pengaruh Hindu dan Budha lebih terserap pada kalangan elite dan penguasa daripada kalangan masyarakat umum, yang hidup jauh dari pusat kerajaan. Masyarakat umum lebih banyak melakukan tradisi dari kebudayaan aslinya dan mereka memegang teguh pada adat-istiadat serta kepercayaan lama yang diperoleh dari nenek moyangnya.



Di dalam hal ini, seperti yang dijelaskan oleh sesepuh desa bahwa dalam ritual sedekah bumi adalah pengaruh masyarakat pada kebudayaannya yang mampu mengubah sistem kepercayaan suku bangsa Jawa, yang semula mempercayai adanya roh nenek moyang yang menempati suatu tempat sehingga tempat itu dianggap angker, sangat berubah atau bertambah kepercayaannya akan adanya dewa-dewa. Sebagai seorang awam yang beragama Islam atau kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di dalam alam pikirannya.



Mereka yakin adanya Allah, yakin bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yakin adanya nabi-nabi lain, yakin adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat, namun mereka juga yakin adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek moyang atau orang yang sudah meninggal, yakin adanya roh-roh penjaga tempat tertentu, kegiatan keagamaan orang Jawa yang menganut agama Jawa juga mengenal sistem upacara.



Bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang adalah salah satu bentuk upacara keagamaan yang dilakukan. Adat untuk mengunjungi makam nenek moyang (nyekar) adalah suatu tindakan yang penting dalam agama Jawa. Dan segala bentuk upacara atau slametan bumi yang dilakukan selalu menggunakan berbagai jenis sesaji (sesajen, sajen). Hal ini juga sangat menonjol dalam beberapa upacara ritual sedekah bumi dengan mempertunjukan wayang kulit sebagai pelengkap ritual tersebut.



Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di pulau Jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang orang Jawa terdahulu. Akan tetapi tradisi sedekah bumi mempunyai makna yang lebih dari itu, upacara tradisional sedekah bumi itu sudah menjadi salah satu bagian yang sudah menyatu dengan masyarakat yang tidak akan mampu untuk dipisahkan dari kultur (budaya) Jawa yang menyiratkan simbol penjagaan terhadap kelestarian serta kearifan lokal, khas bagi masyarakat agraris maupun masyarakat nelayan khususnya yang ada di pulau Jawa.




Proses Pelaksanaan Tradisi Sedekah Bumi yang berkembang di Masyarakat Jawa.



Ritual sedekah bumi dilaksanakan oleh seluruh warga Desa, dari anak-anak sampai orang tua. Mereka ada yang terlibat langsung dalam prosesi dan ada juga sebagai peserta yang ikut meramaikan pelaksanaan upacara. Keterlibatan anak-anak tidak hanya sebagai penggembira untuk ikut meramaikan jalannya upacara, tetapi secara tidak langsung anak-anak terlibat dalam ritual ini yaitu pada saat penaburan sesaji.



Keterlibatan warga dimulai dari persiapan upacara, diawali dari penetapan panitia penyelenggara, pemasangan umbul-umbul, spanduk dan hiasan- hiasan lainnya, juga pembuatan tempat upacara dan panggung musik tradisi ataupun pertunjukan wayang kulit dekat makam tersebut.



Tujuan diadakan ritual sedekah bumi terutama untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan dan memohon kepada-Nya supaya nikmat yang lebih baik dilimpahkan di tahun depan, selain itu dimaksudkan untuk menghindari rasa akan terjadinya kemungkinan dampak yang buruk baik kehidupan masyarakat penduduk desa terutama dalam bidang pertanian.



Pelaksanaan tradisi sedekah bumi diwujudkan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, karena tradisi ini sudah mendarah daging dengan kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu rasa tanggung jawab yang besar sebagai generasi penerus akan terus menuntun dalam melestarikan dan mewariskan tradisi ke anak cucu di kemudian hari.



[1]   Proses Ritual Sedekah Bumi yang berkembang di Masyarakat Jawa.



Sesaji merupakan salah satu sarana upacara yang tidak bisa ditinggalkan, dan disebut juga dengan sesajen yang dihaturkan pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan terhadap makluk halus, yang berada di tempat-tempat tertentu. Sesajen merupakan jamuan dari berbagai macam sarana seperti bunga, kemenyan, uang recehan, makanan, yang dimaksudkan agar roh-roh tidak mengganggu dan mendapatkan keselamatan perlengkapan sesaji biasanya sudah menjadi kesepakatan bersama yang tidak boleh ditinggalkan karena sesaji merupakan sarana pokok dalam sebuah ritual.

Sesaji yang digunakan untuk ritual di makam meliputi:
a. Tumpeng terbuat dari nasi putih berbentuk kerucut yang menyerupai gunungan dimaksudkan untuk memberi sedekah dan sekaligus menghormati para dewa dan roh-roh yang bersemayam di gunung.
b. Pecel pitik yaitu ayam panggang dicampur dengan bumbu pecel, yang terbuat dari parutan kelapa atau disebut dengan bumbu urap (Jawa).
c. Jenang abang (merah) dan putih yaitu bubur yang terbuat dari beras. Untuk jenang abang dicampur dengan gula kelapa.
d. Kinangan yang terdiri dari daun sirih, gambir, tembakau, enjet (kapur).
e. Toya arum yaitu air yang diisi dengan bunga berbau harum terdiri dari bunga Kenanga , bunga cempaka, bunga Sedap malam dan boleh juga ditambah dengan bunga Mawar.
f. Sego gulung yaitu nasi putih yang dibungkus dengan daun pisang dan ditengahnya berisi telur rebus.
g. Uang seikhlasnya.
h. Sekul arum atau kemenyan dengan cara dibakar untuk mendapatkan aroma dan asapnya, sekaligus sebagai penambah suasana sakral.
Dalam acara ini, setiap kepala keluarga membawa Dulang yaitu sejenis nampan bulat sebesar tampah yang terbuat dari aluminium dan ada juga yang terbuat dari kuningan atau bilik. Di dalam dulang ini tertata aneka jenis makanan sesuai dengan kesepakatan apa yang harus dibawa. Dulang ini ditutup dengan tudung saji yang dibuat dari daun, sejenis pandan, tudung saji ini banyak terdapat di pasaran. Dulang ini dibawa ke masjid, atau tempat acara yang sudah ditetapkan, untuk dihidangkan dan dinikmati bersama. Hidangan ini dikeluarkan dengan rasa ikhlas, bahkan disertai dengan rasa bangga.


Prosesi Arak-arakan Sedekah Bumi



Modhin yaitu aparat desa di bidang urusan agama dengan menaburkan sesaji (sembur utik-utik) yang didampingi pemangku adat. Kelompok Jebeng-Tulik yaitu kelompok muda-mudi. Jebeng membawa sesaji (jenang beras warna merah dan putih dengan dilengkapi air), sedangkan Tulik mendampingi dengan membawa payung untuk menghindari sinar matahari. Berikutnya kelompok ibu-ibu PKK, diikuti kelompok aparat desa yaitu kepala desa dan staf, serta masyarakat yang melibatkan diri dalam prosesi ritual sedekah bumi. Terakhir adalah kelompok masyarakat yang mengikuti perjalanan ritual ini, sebagai penggembira dan menambah maraknya suasana. Disambut oleh warga yang tidak mengikuti arak-arakan dengan menggelar tikar atau alas duduk lainnya dan menyiapkan sarana slametan, diawali dengan pembacaan doa, dan dilanjutkan dengan bahasa Arab, sebagai pernyataan niat diselenggarakan slametan dan dilanjutkan makan bersama. Dalam acara slametan tampak suasana keakraban seluruh warga yang tidak mengenal status sosial ataupun umur, mereka bersama-sama mengadakan ritual untuk kebutuhan bersama, dari tahun ke tahun tampaknya urutan prosesi tidak selalu sama.



Pembacaan Doa saat Ritual Sedekah Bumi



Sebelum doa-doa dibacakan dipanjatkan bersama, sambil menunggu warga terkumpul semua disiapkan dupa atau kemenyan yang berisi kayu arang dan kemenyan kemudian dibakar di atas nampan yang dibuat dari tanah liat kemudian diletakkan di atas tampah yang berisi bunga-bunga seperti mawar merah, kantul dan bunga lainnya. Dupa ini bertujuan untuk mengusir roh jahat yang menghalangi acara ritual, dalam bahasa dialek Jawa menjelaskan :

“Tiyang ajeng mara tamu niku kedahe li permisi kaleh tiyang alus sing ajen kulo suwuni sawabiyah sawa pandongane gusti kang Maha Kuaos supados diparingi slamet sedaya, lha niku ngobonge menyan”.
Orang akan bertamu itu harusnya kan minta ijin dengan makhluk halus yang akan saya mintai sawabiyah dan doa-doanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya semuanya diberi keselamatan, yaitu dengan membakar kemenyan.


Ditekankan lagi bahwa dupa itu hanya sebagai pembukaan dan tidak mempunyai sanksi-sanksi apa-apa. Setelah itu pembacaan do’a dimulai dengan inti memohon keselamatan dunia dan akhirat, supaya kehidupan warga Desa seluruhnya jangan sampai mengalami segala macam kesusahan terutama dalam hal pertanian khususnya.



Tukar Menukar Berkatan



Selesai pembacaan do’a yang dipimpin oleh modhin (aparat desa) kemudian warga dipersilahkan untuk saling merebut berkatan sebanyak-banyaknya siapapun yang mendapatkan berkatan itu akan mendapat rejeki yang banyak, penghidupannya akan semakin layak. Kumpulan bunga (kembang) terdiri dari bunga mawar merah, bunga gading (kantil), bunga kenanga, kumpulan bunga tersebut mengandung arti bahwa semua warga masyarakat setempat menyembah untuk berdo’a supaya tetap diberi kenikmatan dan berterima kasih kepada Allah SWT atas karunia nikmat yang telah dilimpahkan kepada warga masyarakat seluruhnya.




Jajan Satu Nampan



Maksud dari jajan satu nampan itu yang mana isinya meliputi makanan kecil yang dibuat oleh para pamong desa selaku perwakilan dari masing-masing dusun secara sukarela diambil satu-satu dikumpulkan diatas nampan dan lainnya disuguhkan pada tamu undangan dan penonton yang terdekat, janjan tersebut adalah jajan pasar seperti bugis, cucur, poci-poci, tape ketan, gemblong ketan, nogosari dan lain-lain.



Pertunjukan Kesenian Wayang Kulit



Pertunjukan Wayang kulit ini sebagai tindak lanjut dari acara ritual sedekah bumi, yang dilaksanakan di dekat makam sebagai makam leluhur bagi masyarakat setempat.



Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan dalam setiap tahunnya, dengan maksud untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti gagal panen yang dapat menurunkan pendapatan masyarakat karena sebagian besar penduduk desa setempat adalah petani.



Kegiatan keagamaan orang Jawa yang menganut agama Jawa yang mengenal sistem upacara. Bentuk pemujaan terhadap roh nenek moyang adalah salah satu bentuk upacara keagamaan yang dilakukan Misalnya :

1) Melakukan kegiatan mengunjungi makam keramat (nyekar)
2) Menggunakan berbagai sesajen
3) Sejarah perkembangan sistem kepercayaan orang Jawa, dengan kata lain, di samping kekuatan yang ada dalam tubuh manusia, masih ada kekuatan yang jauh lebih hebat yang ada di luar tubuh manusia. Misalnya : pertunjukan wayang kulit sebagai sarana ritual sedekah bumi di desa.


Dengan demikian, dapat dipahami bahwa upacara pertunjukkan wayang merupakan upacara keagamaan yang mengandung maksud tertentu, yaitu untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang guna dimintai pertolongan dan perlindungan.



Pertunjukan wayang kulit merupakan tradisi upacara ritual sedekah bumi di desa sangat bermanfaat untuk menyampaikan pesan-pesan kepada warganya tentang tata kehidupan mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan antara warga yang satu dengan yang lainnya dalam satu desa, hubungan antara warga dengan perangkat desa serta hubungan warga dengan pemerintahan.



Selanjutnya perlu diketahui pula mengapa pertunjukan wayang itu dilakukan pada malam hari, karena mereka menganggap bahwa pada malam hari itu saat para roh sedang berkeliaran. Dalam pertunjukan wayang sebelumnya juga diperlukan pembakaran kemenyan dan sajian berupa makanan dan minuman serta wangi-wangian. Melalui saji-sajian itulah cara mereka menghormati roh-roh nenek moyang mereka. Dengan cara itu mereka merasa terjamin nasib baik dan kemakmurannya di kemudian hari.



Sesajen berarti sajian atau hidangan. Sesajen memiliki nilai sakral di sebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Acara sakral ini dilakukan untuk ngalap berkah (mencari berkah) di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau di berikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan ghaib, semacam keris, trisula dan sebagainya untuk tujuan yang bersifat duniawi. Sedangkan waktu penyajiannya di tentukan pada hari-hari tertentu. Seperti malam jum’at kliwon, selasa legi dan sebagainya. Adapun bentuk sesajiannya bervariasi tergantung permintaan atau sesuai yang di terima oleh orang pintar, paranormal, dukun dan sebagainya. Banyak kaum muslimin berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan.  Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan).



Masyarakat Jawa mengenal berbagai ibadat dan upacara tradisional. Nenek moyang orang Jawa hidup dalam alam pikiran sederhana yang berpengaruh pada cara berpikirnya. Pandangan mereka terhadap masalah-masalah kehidupan dunia sering sempit dan lebih dipengaruhi hal-hal di alam gaib. Mereka beranggapan dunia dihuni bermacam-macam makhluk halus dan kekuatan gaib yang dapat menimbulkan kebahagiaan dan kesengsaraan. Menghadapi dunia gaib, manusia menggunakan perasaan, misalnya: menghormati, mengagungkan, takut, cinta, dan ngeri. Perasaan ini muncul dalam berbagai perbuatan yang berhubungan dengan dunia gaib melalui upacara. Pada dasarnya upacara merupakan permohonan dalam pemujaan atau pengabdian yang ditujukan kepada kekuasaan leluhur yang menguasai kehidupan manusia sehingga keselamatan serta kesengsaraan manusia tergantung pada kekuasaan itu.

Upacara merupakan suatu adat atau kebiasaan yang diadakan secara tepat menurut waktu dan tempat, peristiwa atau keperluan tertentu.


Selanjutnya, upacara merupakan bentuk kegiatan simbolis yang memulihkan tata alam dengan menempatkan manusia dalam tata alam tersebut.Dalam upaya tersebut dipakai kata-kata, doa-doa, dan gerak-gerak tangan atau badan. Sementara itu, Koentjaraningrat memformulasikan bahwa sistem upacara mengandung empat komponen, yaitu tempat upacara, saat upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, serta orang yang melakukan dan memimpin upacara. Semua yang berperan dalam upacara tersebut sifatnya sakral sehingga tidak boleh dihadapi dengan sembarangan karena dapat menimbulkan bahaya.



Demikian juga orang yang berhadapan dengan hal-hal keramat harus mengindahkan berbagai larangan. Dari berbagai pendapat tentang upacara dapat dipahami bahwa upacara yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya merupakan tata alam sesuai dengan adat kebiasaan untuk mendapatkan ketenteraman dan keselamatan hidup serta sebagai perwujudan dari keterbatasan kemampuan manusia dalam menghadapi tantangan hidup, baik yang berasal dari diri sendiri atau dari alam sekitarnya. Berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan mengadakan kontak langsung dengan para leluhur, roh-roh, dewa-dewa, dan dengan Yang Maha Kuasa.



Para penganut agama asli Indonesia percaya adanya aturan tetap, yang mengatasi segala kejadian di dunia yang dilakukan manusia. Apa yang sesuai atau selaras dalam hidup manusia dengan latar belakang kehidupan. Apa yang menyimpang, tidak cocok, atau menentangnya adalah disfungsional, salah, sesat, dan merupakan dosa. Partisipasi tingkah laku manusia dalam aturan alam raya itu mengangkat hidup manusia menjadi otentik, berarti, dan bernilai. Kelakuan simbolis manusia yang menghadapkan keselamatan itu bentuknya banyak, seperti : menceritakan kembali mitos asal, mementaskan isi mitos, melakukan upacara adat, menghadirkan tata alam dalam tari-menari, cara khusus menanam atau mengetam padi, beraneka perayaan korban, makan bersama (selamatan), penegasan jenjang peralihan dalam hidup dan lain-lain. Kesediaan manusia mengikuti tata upacara yang ditentukan karena percaya aturan itu sebagai kelakuan simbolis, yang menghadapkan keselamatan yang menceritakan kembali mitos asal.



Upacara tradisional adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan yang bersifat turun-temurun, antara lain pandangan hidup, kepercayaan, kesenian, upacara yang semuanya dilakukan menurut adat atau aturan agama dan keyakinan yang dianut manusia pendukungnnya.



Upacara itu juga merupakan kegiatan sosial yang meliputi warga masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama dan menjadi bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Tradisi memperingati atau merayakan peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia dengan melaksanakan upacara merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat sekaligus upaya manusia untuk mendapatkan ketenangan rohani, yang masih kuat berakar sampai sekarang.



‘Urf menurut sebagian ulama' ushul fiqh disamakan dengan adat istiadat yaitu kegiatan dalam masyarakat yang sudah lazim dilaksanakan dan itu berlangsung turun temurun, di dalam kaca mata fiqh itu dinamakan ‘urf. Meskipun ada yang menyamakan dengan adat istiadat tetapi ada yang menganggap bahwa ‘urf dan adat istiadat itu berbeda. Dan syarat yang paling utama dalam ‘urf adalah apabila ‘urf itu tidak bertentangan dengan nash dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, ‘urf Shohih ialah adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada dalam Hadits maupun dalam Al-Qur'an. Selain itu merupakan adat istiadat yang telah diterima oleh masyarakat luas dibenarkan oleh pertimbangan akal sehat, membawa kebaikan, menolak kerusakan.



Pada zaman dulu banyak sekali adat istiadat dalam masyarakat kita sebelum agama islam datang. Dan umumnya semua itu merupakan ‘urf yang fasid dalam pandangan islam, tetapi setelah islam datang maka adat yang semacam itu diperbaharui oleh penyebar agama islam seperti kebiasaan membawa makanan ke tempat-tempat yang angker karena ada penghuninya maupun dipohon-pohon besar tetapi setelah islam datang adat yang seperti itu tidak dihilangkan seketika dengan langsung tetapi di islamisasikan, Pada hukum asalnya dalam Islam, memalingkan peribadatan, doa, pengharapan raja, takut, sembelihan, nadzar, isti'anah, istighatsah dan sebagainya kepada selain Allah adalah syirik.



Di dalam kamus umum bahasa Indonesia, Tumbal adalah sesuatu yang digunakan untuk menolak bala, penyakit dan sebagainya. Sedangkan sajen merupakan makanan atau bunga-bungaan dan sebagainya yang disajikan kepada orang (makhluk) halus, roh dan semisalnya. Untuk mendatangkan suatu keberuntungan dan menjauhkan suatu kemudharatan.



Tumbal, dalam prakteknya lebih khusus atau identik dengan sembelihan dan kurban, sedangkan sesajen biasanya berbentuk makanan yang siap dihidangkan seperti: Jenis-jenis bubur, buah, daging atau Ayam yang telah dimasak, dan dilengkapi dengan berbagai macam bunga serta terkadang uang logam.



Adapun tumbal dilakukan dalam bentuk sembelihan, seperti : Menyembelih ayam dengan ciri-ciri tertentu untuk kesembuhan penyakit atau untuk menolak kecelakaan, menyembelih kerbau atau sapi, lalu kepalanya di tanam ke dalam tanah yang di atasnya akan dibangun sebuah gedung atau proyek, supaya proyek pembangunan berjalan lancar dan bangunan-nya membawa berkah. Jadi pada intinya tumbal dan sesajen adalah mempersembahkan sesuatu kepada makhluk halus (roh, jin, penjaga tempat-tempat angker, dll) dengan harapan agar yang diberi persembahan tersebut tidak mendatangkan bala, atau musibah dan berharap kepadanya keberuntungan dan kesuksesan terjadi, maka dapat dikatakan ke dalam ‘urf fasid.  Akan tetapi dalam ritual sedekah bumi yang berkembang di masyarakat Jawa setelah Agama Islam masuk, sesajen yang dibawa warga, dikembalikan dan dimakan bersama-sama oleh masyarakat desa kembali. Setelah pembacaan doa, sesajen yang dibawa masyarakat Jawa itu tidak diperuntukan makhluk halus, roh, jin dan sebagainya, melainkan sesajen yang dibawa diperuntukan masyarakat desa itu sendiri.

Dalam tradisi sedekah bumi ini permohonan dan permintaannya juga murni ditujukan kepada Allah SWT, dan mengharapkan Ridho serta Keselamatan dari yang Maha Kuasa. Selain itu dalam ritual sedekah bumi ini pada intinya masyarakat Jawa hanya menghormati nenek moyang terdahulu, dan menjalankan tradisi turun-temurun. Jadi bahwasanya ritual sedekah bumi ini dapat dikatakan sebagai ‘urf shahih, selain itu dalam ritual ini malam sebelumnya masyarakat Jawa melakukan acara tahlilan bersama.
Dalam salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadist tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
Upacara sedekah bumi yang mempunyai makna vertikal dan horizontal bagi masyarakat Jawa ternyata masih cukup kuat berakar dilaksanakan secara konsisten oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Margadana tradisi ini mempunyai syarat khusus yang relatif berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Kekhususannya terutama terletak pada pelaksanaan tradisi pementasan wayang kulit dengan syarat-syarat, perlengkapan, serta tata cara khusus, sebagai bagian tak terpisahkan dari upacara sedekah bumi, yang juga terdapat di daerah lain.


Pandangan Tokoh Masyarakat Terhadap Tradisi Sedekah Bumi yang berkembang di Masyarakat Jawa.

Pesta rakyat yang sudah mentradisi ini diselenggarakan setahun sekali sebagai tanda ucapan syukur rakyat setempat kepada Tuhan Maha Pencipta atas suksesnya segala pekerjaan yang dilakukan rakyat.
Menurut kepercayaan rakyat ritual sedekah bumi mempunyai ikatan erat dengan mitos kesaktian sebagai pelindung desa dari segala ancaman angkara murka dan jauh dari bencana dan kerusuhan. Dalang wayang kulit menuturkan bahwa bagi dirinya setuju sekali dengan adanya ritual sedekah bumi ini, dirinya menyatakan bahwa :
“Masyarakat jangan sekali-sekali untuk meninggalkan tradisi yang sudah ada jaman dulu, dan masyarakat juga tetap mempertunjukkan sebuah pertunjukan dimana yang telah pertama kali dilakukan di dalam tradisi sedekah bumi, karena apabila itu tidak dilakukan atau tidak diadakan, pasti warga tidak akan hidup tentram dan roh-roh pelindung desa yang dikeramatkan atau dimakamkan di tengah-tengah masyarakat setempat akan murka dan akan terjadi hal hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, sampai sekarang pada tradisi upacara ritual sedekah bumi masih aktif dilestarikan dan Kepala Desa sangat menghormati keberadaan tradisi tersebut, pada tradisi ritual sedekah bumi dengan menganggap itu suatu pertanggung jawaban kepada para leluhur dan generasi pendahulu”. Dinyatakan pula “saya tidak mau disalahkan apabila nantinya terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan sebagai akibat tidak dilaksanakannya tradisi ini”.
Dengan diadakan kebiasaan dari masyarakat setempat untuk melakukan orang-orang pada umumnya yaitu nyekar ke makam leluhur desa dan diadakan kumpulan semua warga untuk tahlil bersama di pelataran makam leluhur desa yang diadakan malam harinya, di makam dan sudah menjadi nenek moyang yang sudah dipercayai. Selain itu menurut penuturan warga sekitar;
“Bagi dirinya bahwa dengan adanya sedekah bumi ini beliau sangat setuju sekali karena menurutnya adalah bahwa dirinya merupakan orang Jawa, yang mana tradisi ini sebuah tradisi turun-temurun dari nenek moyang terdahulu, selain itu untuk menghormati yang sudah meninggal terdahulu. Kemudian dalam ritual sedekah bumi yang mana di dalamnya terdapat beberapa unsur yang harus dilakukan dalam sesajen, yaitu nasi berkatan menurutnya disebut dengan istilah nasi ambeng berisi nasi jagung atau nasi dari beras padi/nasi biasa dengan kemampuan masyarakat berdasarkan fisik perekonomian. Yang memiliki makna tersendiri yakni agar diberikan kesuburan dalam pertaniannya”.
Kemudian sebagai pelengkap nasi diatasnya dibubuhi lauk berupa sambal, mie goreng, kuluban, tempe goreng atau tahu goreng. Istilah berkatan yang maksudnya dari berkatan tersebut adalah:
“Kita sedoyo mbekteni marang kang kuasa kalian marang leluhur nenek moyang, ibarate bumi niki leluhur nenek moyang, kito niki kulo dodoki, mangan lan mbuang kotoran nggih ten bumi kita”.
Dikiaskan Orang Jawa mengatakan demikian. Yang berarti “kita semua berbakti pada yang Kuasa dan berbakti kepada leluhur nenek moyang, ibarat bumi ini leluhur nenek moyang kita ini, di duduki, makan dan buang kotoran ya di bumi ini.”

Kaum beriman dapat bermunajat kepada Allah dengan atau perantara meskipun sebenarnya, selalu saja ada beberapa perantara yang dilibatkan, yang mecakup keadaan pribadi seseorang, tingkat kepatuhan, keimanan, perbuatan yang dilakukan, ketulusan, dan sebagainya. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa munajat kepada Allah SWT melalui seorang perantara adalah SYIRIK. Karena suatu ketika, Nabi Saw. Menjelaskan hal ini kepada para sahabat dan semua umatnya ketika Ia berkata kepada Abu Bakar al- Shiddiq, “Pertolongan tidak diperoleh karena aku. Pertolongan diperoleh (hanya) karena Allah SWT.” Ia tidak mengatakan kepada Abu Bakar, “Haram meminta kepadaku, karena hal itu sama saja dengan menyekutukan Allah.” Maksud Nabi Saw, adalah bahwa Ia bukanlah sumber pertolongan, melainkan hanya pemberi syafaat paling utama untuk mendapatkan pertolongan dari Allah. Dengan demikian, hadist “Pertolongan tidak diperoleh karena aku” berarti bahwa meskipun akulah yang dimintai pertolongan, pada hakikatnya bukan aku yang dimintai pertolongan, melainkan Allah SWT.
Hadits itu harus ditafsirkan sesuai dengan fakta bahwa meminta pertolongan hanya dibolehkan kepada sumber pertolongan itu sendiri, sesuai dengan prinsip sebab dan perolehan (atau sebab-sebab sekunder). Inilah makna yang selaras dengan pengertian linguistik dan pemahaman syariat.
Definisi ini didukung oleh hadist riwayat al-bukhari (Kitab al-Tawhid) yang membahas syafaat di hari Kiamat. Diriwayatkan bahwa di Hari Kiamat manusia meminta syafaat kepada Adam a.s., kemudian Musa a.s., lalu Muhammad Saw dan yang terakhir menjawab, “Aku dapat memberikannya”.
Penting untuk dipahami, itu tidak berarti bahwa Nabi Saw, merupakan tujuan akhir permohonan, dan Ia pun bukan pihak yang mengabulkannya.Namun, Ia merupakan perantara terbaik untuk menyampaikan permohonan kepada Allah Swt sehingga Allah Swt akan mengabulkannya. Pengertian ini jelas tergambar dalam ungkapan Nabi Saw.

Kepada Allah SWT, “melalui Nabi-Mu saw. dan nabi-nabi sebelumku” dan “melalui orang-orang yang meminta” dalam dua hadist berikut :

“Abu Sa’id al-Kudri r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa meninggalkan rumahnya untuk shalat dan berkata, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang yang meminta kepada-Mu dan aku memohon kepada-Mu dengan kebenaran orang yang berada di jalan-Mu yang tengah kutempuh tanpa sikap ceroboh , sombong apalagi besar kepala, dan tanpa mengharapkan pujian. Aku melangkah ridho-Mu. Karena itu, aku memohon perlindungan-Mu dari api neraka dan agar Engkau mengampuni dosa-dosa selain Engkau’, niscaya Allah akan menerimanya dan tujuh puluh ribu malaikat akan memohonkan ampunan-Nya”.
“Dari Anas ibn Malik bahwa Nabi Saw. Bersabda, “Ya Allah, berikan ampunan-Mu kepada ibuku, Fatimah binti Asad, luaskan tempat yang akan dimasukinya (yakni kuburannya) dengan kebenaran Nabi-Mu dan kebenaran nabi-nabi yang datang sebelumku”.
Al-Tabrani meriwayatkan hadist kedua ini dalam al-Kabir dan al- Aswath. Ibn Hibban dan al-Hakim menyebutnya hadist shahih. Ibn Aby Syaibah dari Jabir meriwayatkan hadist yang sama. Demikian pula yang dikatakan Ibn Abdil Barr dengan riwayat Ibn Abbas; begitu pula Abu Nu’aim dalam karyanya, Hilyah. Al-Haitami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, dalam sanad al-Tabrani terdapat Rawh ibn Shalah yang memiliki beberapa kelemahan, namun Ibn Hibban dan al-Hakim menganggapnya layak dipercaya.

Sementara para perawi lainnya adalah para perawi hadist sahih”.

Imam al-Kautsari berkata tentang hadist ini dalam karyanya, Maqalat (h.410), “Hadist itu menyuguhkan bukti tekstual bahwa tidak ada perbedaan antara orang yang hidup dan orang yang mati dalam konteks tawasul, dan inilah contoh melalui para Nabi. Sedangkan hadist dari Abu Sa’id al-Khudri, ‘Ya Allah Swt, aku meminta kepada-Mu dengan kebenaran orang-orang yang meminta kepada-Mu,’ merupakan tawasul melalui kaum muslimin secara umum, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.”
 Nabi Saw. Pernah berdo’a setelah dua rakaat shalat fajar, “Ya Allah Swt, Tuhan Jibril, Israfil, Mikail, dan Tuhan Muhammad Saw., aku berlindung kepada-Mu dari api neraka….”

Syekh Muhammad ibn Alawi al-Maliki berkata, “Ucapan khusus pada do’a di atas dipahami sebagai tawasul. Seakan-akan Nabi Saw. Berkata, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan aku berwasilah kepada-Mu melalui Jibril, Mikail, Israfil, dan Nabi Muhammad Saw.” Ibn Allan menyebutkan hal ini dalam ulasannya”.

Imam Syaukani berkata dalam makalahnya yang berjudul al-Durr al-Nadid fi Ikhlash Kalimah al-Tawhid: “Tak ada ruginya bertawasul melalui Nabi, wali, atau ulama….. Seseorang yang datang ke kuburan sebagai peziarah (za’ira) dan meminta kepada Allah Swt semata dengan berwasilah kepada orang yang berada di dalam kubur itu, adalah laksana orang yang mengatakan, “Ya Allah, aku memohon Engkau menyembuhkanku dari ini dan itu, dan aku berwasilah kepada-Mu dengan apa yang dimiliki hamba-Mu yang saleh ini, seperti ibadah kepada-Mu, berjuang karena-Mu, dan belajar serta mengajar dengan niat yang tulus karena-Mu.” Jadi, tak diragukan lagi bahwa tawasul seperti itu diperbolehkan”.

Faktor-faktor yang Menyebabkan Masyarakat Setempat Tetap Melakukan Tradisi Sedekah Bumi


Fenomena ini sesuai pendapat Smith tentang upacara Bersaji bahwa ada tiga gagasan penting mengenai azas-azas religi dan agama yaitu sistem upacara yang merupakan suatu perwujudan dari religi dan dalam banyak agama upacaranya tetap, tetapi latar belakang keyakinan dan maksudnya berubah.



Agama atau religi mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat, yang menganggap bahwa melakukan upacara adalah kewajiban sosial. Fungsi upacara bersaji adalah sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dan sekaligus sebagai wujud dari upacara yang meriah tetapi keramat. Apa yang dijalani masyarakat Margadana adalah wujud dari religi berdasarkan keyakinannya, karena religi merupakan segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makluk halus yang menempati alam. Oleh karena itu dengan adanya tradisi ini memberikan manfaat atau pesan yang besar bagi masyarakat yang ada sehingga masyarakat desa tetap eksis melakukan ritual sedekah bumi, yaitu :


1. Menghibur masyarakat yang haus akan hiburan.

2. Mendidik anak-anak dan remaja, pemuda untuk tetap menghormati dan menghargai orang tua.
3. Sebagai komunitas kecil warga desa tetap menjaga kerukunan dan selalu mengutamakan sikap kegotong-royongan, dimana manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan dan dibutuhkan oleh manusia lain.
Tindakan mengkeramatkan, mengunjungi, dan melakukan tradisi manganan di atas makam seperti ini-kalau tidak hati-hati, akan menimbulkan kesalahan ketauhidan dalam hal keagamaan, tetapi bagi yang sudah paham tata-caranya, maka mereka akan tahu bahwa sumber segala permohonan itu hanya Allah subhanahu wa Ta’ala. Tetapi bagi yang tidak memahaminya, dikhawatirkan akan mendekati bahkan masuk ke musyrikan. Sikap hati-hati itulah yang mendorong tokoh agama yang ada di desa, melakukan perubahan seperlunya terhadap tradisi sedekah bumi yang semula dilakukan di seputar makam leluhur desa. Dengan menjelaskan sikap perubahan tradisi sedekah bumi bersama itu dengan ungkapan: al mahafadzu alal qodish sholih wal akdu bil jadidil ashlah (tetap memelihara tradisi masa lalu yang dianggap sudah baik dan menyempurnakan kemudian dengan cara-cara yang lebih baik).


Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Ia tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya islam akan menjustifikasikan (membenarkan)nya. Kita bisa bercermin bagaimana wali songo tetap melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam.



Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi hubungan antara individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Efektifitas dan efesiensinya selalu ter-update mengikuti perjalanan perkembangan unsur kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efesiensinya rendah akan segera ditinggalkan pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya.



Dengan demikian “SEDEKAH BUMI” merupakan suatu penegasan dan penguatan tata kultural umum dan kekuatannya untuk menangkal kekuatan-kekuatan kekacauan. Dalam bentuk dramatik yang terkendali, sedekah bumi menegaskan nilai-nilai yang menggerakan budaya petani Jawa Tradisional, penyesuaian timbal balik dari kehendak-kehendak yang saling bergantung.



Pandangan tokoh masyarakat tentang ritual sedekah bumi merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang terdahulu, menghormati yang telah meninggal lebih dulu, dan suatu kewajiban baginya sebagai orang Jawa yang diselimuti oleh berbagai tradisi. Oleh sebab itu masyarakat sangat menyetujui, karena tidak bertentangan dengan hukum islam, dan juga tidak membawa kemudharatan bagi warga sekitar karena ini dapat dikatakan adat kebiasaan yang shahih, yang tidak terdapat unsur-unsur mistik maupun magic. Faktor yang menyebabkan masyarakat desa melakukan ritual sedekah bumi karena merupakan tradisi yang sudah lama berkembang dan tidak dapat dihilangkan begitu saja, adanya kebersamaan antar warga setempat, merupakan keyakinan pribadi, terdapatnya hubungan harmonis antara individu dengan masyarakat tersebut.



Dengan diadakannya tradisi sedekah bumi, masyarakat setempat tahu kenapa lebih mengembangkan, agar memiliki konstribusi terhadap pengembangan kehidupan kita dan dapat membawa generasi kita untuk mengikuti leluhur atau nenek moyang kita. Pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk menjaga kebudayaan kita agar tidak diambil oleh negara lain.




Sumber dikutip dari :
http://thyeogeografi.blogspot.com/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar